Langkaplancar, myPangandaran.com - Sejak dua tahun terakhir, para pengrajin gula kawung atau gula aren di Kecamatan Langkaplancar Ciamis tidak hanya membuat gula kawung berbentuk gandu (roda kecil) yang dibungkus daun kelapa kering (karari). Tetapi juga sudah mengembangkan gula kawung dengan bentuk lain, yakni berbentuk butiran (granula) yang disebut gula aren semut atau gula semut.
“Tapi gula semut ini baru berkembang di Desa Bangunjaya saja. Desa lain belum. Kami sudah memperkenalkan teknologi gula semut ini di Desa Bangunjaya sejak tahun 2005, tapi baru berkembang dua tahun terakhir. Tahun ini kami mengembangkannya di Desa Pangkalan,” ujar Nur Aedah (30) kepada Tribun Senin (31/5). Nur Aedah, warga Desa Pangkalan Langkaplancar ini bersama rekannya Ujang Syaefudin telah berhasil mengembangkan teknologi pembuatan gula semut di kalangan penderes (penyadap) nira kawung di Desa Bangunjaya.
Di seluruh desa di Kecamatan Langkaplancar banyak dijumpai pengrajin
gula kawung. Namun yang menjadi sentra produksinya adalah Desa
Bangunjaya dan Desa Pangkalan.Di Desa Bangunjaya terdapat 219 KK pengrajin gula kawung dengan
produksi 2 ton gula kawung per minggu. Gula kawung dari Desa Bangunjaya
ini dijual ke pasar-pasar tradisional di Ciamis, banjar, Tasikmalaya
bahkan sampai ke Bandung. Gula kawung tersebut dipasarkan dengan system
bonjor (bungkus karari). Setiap bonjor, gula kawung ini harganya
sekitar Rp 18.000 dengan berat rata-rata 1,5 kg/bonjor.
Dari 219 KK pengrajin gula kawung secara tradisional di Desa Bangunjaya tersebut kini menurut Nur Aedah sudah ada 4 kelompok yang menerapkan teknologi baru dengan membuat gula semut. Setiap kelompok memiliki 8 orang pengrajin. “Para pengrajin gula semut ini masih tetap memproduksi gula kawung. Jadi disamping memproduksi gula kawung mereka juga menghasilkan gula semut,” ujar Nur yang mengaku tidak tahu persis kenapa gula kawung berbentuk butiran (granular) tersebut dinami gula semut.
Sebenarnya proses produksi gula semut ini tidak jauh berbeda dengan proses pembuatan gula kawung biasa. Bahan baku asalnya sama, yakni nira dari pohon kawung (aren) yang kemudian dijerang diatas katel besar.
Setelah nira menjadi adonan, disitulah baru dimulai perbedaan
prosesnya. Untuk membuat gula kawung, adonan nira yang sudah mulai
mengental kemudian dicetak dengan menggunakan potongan-potongan lodong
bamboo berbentuk gandu.Sedangkan untuk membuat gula semut, olahan nira yang mulai mengental
tersebut dibiarkan mengeras di katel dan kemudian dipukul-pukul
sehingga pecah menjadi butiran. Dan butiran halus tersebut gula semut,
gula semut aren.
Dibandingkan dengan gula kawung biasa, menurut Nur, gula semut ini lebih tahan lama dan cukup praktis digunakan. Bila digunakan untuk masak, bikin pecal atau rujak tinggal disendok seperti gula pasir biasa. “Kegunaannya kebih praktis. Bagi yang pantang gula putih, seperti bagi yang berpotensi punya penyakit gula, mungkin gula semut ini jadi pilihan yang aman untuk menambah nikmat suguhan teh panas,” imbuhnya.
Dibandingkan dengan gula kawung biasa, harga gula semut menurut Nur jauh lebih mahal. Dan kemasannya juga lebih menarik, karena menggunakan bahan plasti serta lebih tahan lama.
Dari 4 kelompok pengrajin gula semut di Desa Bangunjaya tersebut tiap bulannya baru mampu memproduksi 1,05 ton gula semut perbulan. “Padahal permintaan yang harus kami penuhi tiap bulannya sebanyak 3 ton. Itu permintaan riil dari PT Kino – perusahaan permen. Jadi permintaan pasar belum dipenuhi secara baik, karena produksi gula semut masih terbatas,” terang Ujang Syaefudin.
Salah satu kendala terbatasnya produksi gula semut menurut Ujang lantaran para pengrajin gula kawung belum banyak yang mau melakukan diversivikasi produksi. “Karena sejak dari dulunya sudah terlanjur enak memproduksi gula kawung sehingga tidak gampang menyerap teknologi baru, seperti pembuatan gula semut tersebut. Padahal gula semut ini jauh lebih menguntungkan dan peluang pasarnya sangat terbuka,” ungkap Ujan.
Sumber TribunJabar