Pangandaran,myPangandaran.com-Pedoman utama Destination Management Organization (DMO) atau tata kelola destinasi adalah perlu adanya komitmen dan rasa memiliki dari semua elemen yang terlibat, mulai dari masyarakat, pemerintah, dan industri pariwisata.
Dirjen Pengembangan Destinasi Wisata Kemenbudpar Firmansyah mengatakan, pihaknya tidak bisa mendikte, hanya bisa bersifat memfasilitasi. "Kita datang ke daerah dan melakukan pendekatan kepada mereka, apakah mau kembangkan daerahnya yang destinasi wisata. Karena destinasi wisata bukan punya pusat, daya tarik wisata kan punya daerah," katanya di Gedung Sapta Pesona.
Pihaknya secara terus menerus perlu melakukan pendekatan. Hal ini yang mereka lakukan saat uji coba DMO di Danau Toba dan Pangandaran. Ia menambahkan pendekatan tidak bisa dari level atas ke level bawah, melainkan harus bersifat partisipasi dan bottom up (dari level bawah ke level atas).
"Jadi harus dari masyarakat dulu. Kalau semua sudah mau, baru bisa jalan. Pendekatan terus-menerus, jadi bisa berkali-kali. Pendekatan juga ke ketua adat atau tokoh yang dihormati, harus didatangi juga. Masyarakat setempat kita kumpulin. Kalian sepakat gak tempat dijadikan wisata. PHRI juga ditanya mau gak buat hotel. Asita dan pemerintah daerah juga ditanya. Sehingga pada akhirnya ada kesepakatan di antara stakeholder semua," jelasnya.
Jika telah terjadi kesepakatan bersama, baru kemudian dibuat rencana kerja. Selain itu juga dibuat kesepakatan untuk target dan indikator keberhasilan.
"Indikator keberhasilan dilihat dari tingkat kunjungan, pelayanan yang baik, lingkungan tetap terjaga, kesejahteraan masyarakat naik, aktivitas pariwisata naik. Tapi kan daari awal ini komitmen masyarakat. Jadi disepakati bersama juga target waktu dan apa yang mau diukur kalau DMO berhasil," katanya.
Sebagai contoh di Danau Toba, menurut Firmansyah semua pihak akhirnya sepakat menetapkan target sebagai ukuran keberhasilan, yaitu jumlah kunjungan mencapai 300 ribu wisatawan mancanegara dalam setahun. Mereka juga menetapkan jangka waktu program selama lima tahun.
"Mereka menyatakan sanggup mendapatkan wisman 300 ribu di tahun 2014. Dulu Danau Toba dikunjungi sampai 300 ribu wisman. Tapi beberapa tahun belakangan cuma 100 ribuan saja," katanya. Staf dan Tenaga Ahli
Kemenbudpar menganggarkan Rp 2 miliar-Rp 4 miliar per DMO untuk memfasilitasi pertemuan. Untuk tenaga ahli, bisa berasal dari swasta, LSM, lembaga pembicara/" target="_blank">pendidikan pariwisata, atau tokoh masyarakat. Tenaga ahli yang dipilih adalah yang sudah terbiasa di kalangan masyarakat setempat dan mengerti budaya dan bahasa setempat. Serta berpengetahuan tentang pengembangan pariwisata. Firmansyah juga menjelaskan bahwa instansi pemerintah lain pun dilibatkan.
"Dinas Pekerjaan Umum, Perhubungan, Kelautan, dan lain-lain. Misalnya ada jalan perlu diperbaiki berarti berhubungan dengan PU," tuturnya.
Saat ditanya apakah yang menjadi kesulitan utama, Firmansyah menjawab, kesulitan ada di pendekatan. "Pendekatan yang paling sulit, salah masuk bisa keliru. Banyak yang kita dekati merasa ini proyek. Kita perlu ownership dari masyarakat. Masyarakat harus merasa memiliki dulu. Ini pedomannya membangun kesadaran adanya ownership dan trust. Perlu proses untuk mendapatkan inisiatif dan partisipasi dari masyarakat," jelasnya.
Ia menambahkan jika sebatas proyek dari pemerintah cenderung mendapatkan penolakan. "Karena masyarakat tidak merasa memiliki. Misalnya pemerintah pusat membangun obyek wisata, dia merasanya itu milik pusat. Jadi ini kita memulai dari yang punya tempat. Nantinya yang dapat dia juga. Kalau berhasil yang dapat daerah juga," ungkapnya.
Sebagai gambaran, di Danau Toba memerlukan sampai 15 pertemuan untuk mencapai kesepakatan. (Travel Kompas)