MYPANGANDARAN.COM, PANGANDARAN - Kenangan tentang merayakan Hari Raya Idulfitri atau Lebaran di Kabupaten Pangandaran pada masa lalu tidak hanya sebuah cerita biasa. Pengalaman Lebaran tempo dulu jelas berbeda dengan situasi saat ini.
detikJabar mencoba menjelajahi dokumen-dokumen digital lama yang memuat suasana Lebaran di Pangandaran. Dalam catatan digital yang diselidiki pada Rabu (13/3/2024) dari koleksi database milik Museum Nasional Van Amsterdam: Tropen-Museum Royal Institute, terlihat potret suasana Lebaran tempo dulu.
Dalam dokumen tersebut, tertulis dalam bahasa Belanda "Stransgenoegens Bij Pangandaran, Lebaran 1929." Selain itu, dalam buku "Pangandaran dari Masa ke Masa" karya Profesor Lubis, tergambar bahwa pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Pangandaran telah dikenal sebagai salah satu destinasi wisata pantai.
Dalam buku tersebut, terdapat dua tempat wisata laut yang terkenal pada masa itu, yaitu Muritis Bay atau yang kini dikenal sebagai Pantai Barat Pangandaran, dan Batoe Lajer atau yang dulu dikenal sebagai Batuhiu. Pengunjung di kedua tempat tersebut tidak hanya terdiri dari orang Belanda, tetapi juga dari masyarakat pribumi.
Kenangan Lebaran di Pangandaran tidak hanya dihayati oleh masyarakat pada masa itu. Salah satu pedagang Es Podeng legendaris di Pangandaran, Mas Jabrik (60) dari Pangandaran Timur, mengingatkan bahwa pada tahun 1987, saat libur Lebaran, pantai barat cukup ramai dikunjungi.
"Saya dulu salah satu pedagang es krim di pantai barat, ibaratnya belum ada es krim modern seperti sekarang yang gerainya banyak," kata Jabrik kepada detikJabar, Rabu (13/3/2024).
Baginya, meskipun ia seorang perantau, Pangandaran adalah titik awal kehidupannya. "Karena saya juga dapat istri di sini, menikah hingga punya cucu di sini. Masih dagang Es Podeng," tambahnya.
Pedagang Es Podeng memiliki ciri khas yang berbeda dari pedagang es lainnya. Hampir semua gerobak mereka berwarna biru dan menyediakan telur asin.
Secara penampilan, es podeng mirip dengan es puter dan jajanan es gerobak lainnya. Namun, yang membedakannya adalah cokelat dan topping campuran roti dan agar-agar.
Jabrik juga mengingat bahwa saat itu, pantai Pangandaran masih minim hotel dan dipenuhi oleh pohon kelapa, tampaknya tanpa adanya sekat dengan cagar alam.
"Wah dulu mah masih belum banyak hotel, masih rindang pohon kelapa," kenangnya.
Saat Lebaran, momen bagi Jabrik adalah mencari rezeki di objek wisata pantai Pangandaran. "Rumah saya di Klaten, Jateng, tentu bagi perantau kalau pulang belum pegang uang malu juga," katanya.
Selama bulan Ramadan, Jabrik mengaku tidak bisa berjualan seperti biasa, tapi ia bisa berkeliling sore hari karena waktu itu sudah diperbolehkan. "Waktu itu dagangnya sore sampai magrib. Alhamdulillah yang beli mah pasti ada," ujarnya.
Jabrik mengatakan, momen paling menyenangkan adalah ketika tiba waktunya pulang kampung. "Karena kan angkutan umum tidak sebanyak sekarang, dulu mah naik kolbak, kan orang-orang Jawa yang merantau sebagai kuli harian di sini banyak. Biasanya kita janjian pulang itu naik mobil bak yang bawa barang," tuturnya.
Untuk sekali pulang, Jabrik hanya membayar uang tambahan untuk bensin. "Biasanya ikut sama mobil yang bawa barang kelapa, ikan, beda-beda. Tapi ya lumayan lah kalau dulu mah asal bisa pulang," pungkasnya.Mengenang Suasana Lebaran Tahun 1929 Tempo Dulu di Pangandaran
Kenangan tentang merayakan Hari Raya Idulfitri atau Lebaran di Kabupaten Pangandaran pada masa lalu tidak hanya sebuah cerita biasa. Pengalaman Lebaran tempo dulu jelas berbeda dengan situasi saat ini.
detikJabar mencoba menjelajahi dokumen-dokumen digital lama yang memuat suasana Lebaran di Pangandaran. Dalam catatan digital yang diselidiki pada Rabu (13/3/2024) dari koleksi database milik Museum Nasional Van Amsterdam: Tropen-Museum Royal Institute, terlihat potret suasana Lebaran tempo dulu.
Dalam dokumen tersebut, tertulis dalam bahasa Belanda "Stransgenoegens Bij Pangandaran, Lebaran 1929." Selain itu, dalam buku "Pangandaran dari Masa ke Masa" karya Profesor Lubis, tergambar bahwa pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Pangandaran telah dikenal sebagai salah satu destinasi wisata pantai.
Dalam buku tersebut, terdapat dua tempat wisata laut yang terkenal pada masa itu, yaitu Muritis Bay atau yang kini dikenal sebagai Pantai Barat Pangandaran, dan Batoe Lajer atau yang dulu dikenal sebagai Batuhiu. Pengunjung di kedua tempat tersebut tidak hanya terdiri dari orang Belanda, tetapi juga dari masyarakat pribumi.
Kenangan Lebaran di Pangandaran tidak hanya dihayati oleh masyarakat pada masa itu. Salah satu pedagang Es Podeng legendaris di Pangandaran, Mas Jabrik (60) dari Pangandaran Timur, mengingatkan bahwa pada tahun 1987, saat libur Lebaran, pantai barat cukup ramai dikunjungi.
"Saya dulu salah satu pedagang es krim di pantai barat, ibaratnya belum ada es krim modern seperti sekarang yang gerainya banyak," kata Jabrik kepada detikJabar, Rabu (13/3/2024).
Baginya, meskipun ia seorang perantau, Pangandaran adalah titik awal kehidupannya. "Karena saya juga dapat istri di sini, menikah hingga punya cucu di sini. Masih dagang Es Podeng," tambahnya.
Pedagang Es Podeng memiliki ciri khas yang berbeda dari pedagang es lainnya. Hampir semua gerobak mereka berwarna biru dan menyediakan telur asin.
Secara penampilan, es podeng mirip dengan es puter dan jajanan es gerobak lainnya. Namun, yang membedakannya adalah cokelat dan topping campuran roti dan agar-agar.
Jabrik juga mengingat bahwa saat itu, pantai Pangandaran masih minim hotel dan dipenuhi oleh pohon kelapa, tampaknya tanpa adanya sekat dengan cagar alam.
"Wah dulu mah masih belum banyak hotel, masih rindang pohon kelapa," kenangnya.
Saat Lebaran, momen bagi Jabrik adalah mencari rezeki di objek wisata pantai Pangandaran. "Rumah saya di Klaten, Jateng, tentu bagi perantau kalau pulang belum pegang uang malu juga," katanya.
Selama bulan Ramadan, Jabrik mengaku tidak bisa berjualan seperti biasa, tapi ia bisa berkeliling sore hari karena waktu itu sudah diperbolehkan. "Waktu itu dagangnya sore sampai magrib. Alhamdulillah yang beli mah pasti ada," ujarnya.
Jabrik mengatakan, momen paling menyenangkan adalah ketika tiba waktunya pulang kampung. "Karena kan angkutan umum tidak sebanyak sekarang, dulu mah naik kolbak, kan orang-orang Jawa yang merantau sebagai kuli harian di sini banyak. Biasanya kita janjian pulang itu naik mobil bak yang bawa barang," tuturnya.
Untuk sekali pulang, Jabrik hanya membayar uang tambahan untuk bensin. "Biasanya ikut sama mobil yang bawa barang kelapa, ikan, beda-beda. Tapi ya lumayan lah kalau dulu mah asal bisa pulang," pungkasnya.