Pangandaran,myPangandaran.com-USIA kemerdekaan Indonesia sudah 65 tahun. Namun
hingga saat ini masih banyak warga yang merasa belum merdeka dari
kemiskinan. Salah satunya adalah Ali (80) warga Dusun Padasuka RT 02/17
Desa Wonoharjo.Dia mengaku hidup susah sejak zaman penjajahan
hingga saat ini. Beban hidup semakin lama semakin berat. Bahkan
gara-gara kemiskinan, ia harus berpisah dengan istrinya. Kini ia hidup
menumpang di tanah milik orang lain.
“Dari dulu sampai sekarang
hidup kakek mah malah makin susah, boro-boro bisa punya rumah sendiri,
cari uang buat makan saja sulit,” tutur pria yang pendengarannya mulai
menurun itu.
Ali mengaku mempunyai empat orang anak, yakni Marsinah,
Hadmin, Tumin dan Samin. Kehidupan anaknya pun tak jauh beda dengan
Ali. Dua anaknya mengais rejeki di luar kota dengan cara berdagang dan
bekerja sebagai buruh serabutan.Diusianya yang semakin tua, masih
memiliki semangat hidup mandiri cukup tinggi. Ia bertekad selama
tubuhnya mampu digerakan tak mau menjadi beban orang lain termasuk bagi
anak-anaknya.
Untuk bertahan hidup, saat ini Ali mengandalkan
penghasilan dari bercocok tanam di lahan kosong seluas 20 x 8 meter
milik PT Start Trus itu. “Waktu masih muda dulu sering melaut, tapi
sekarang sudah nggak sanggup, bigini saja tiap hari, tani,” tuturnya.Beberapa
kali, Ali kerap mengalami gagal panen. Namun ia pantang berputus asa.
“Sudah dua tahun ini saya gagal terus, nanam cabe busuk, ubi-ubian juga
hasilnya sedikit, kadang nggak laku dijual,” tutur kakek yang juga
menderita penyakit gatal dipunggungnya sejak beberapa tahun terakhir
ini.
Walaupun hidup susah dan di usianya yang makin senja, Ali masih
menyimpan harapan bagi bangsa Indonesia. Ia berharap kelak cucunya
hidup makmur dan sejahtera.
“Dari zaman penjajahan hidup saya susah,
mudah-mudahan tidak dialami cucu,” ujar kakek yang tidur beralaskan
kasur lepek di gubuk berukuran kira-kira 3 x 5 meter tak jauh dari
kawasan landasan pesawat di Jalan Pamugaran Pantai Barat itu.Penderitaan
Ali juga dirasakan Nunung (46), warga yang mengontrak rumah di dekat
bantaran Sungai Cikidang Desa Babakan Kecamatan Pangandaran.
Bertahun-tahun ia hidup bersama suaminya yang bekerja sebagai buruh
serabutan dan calo kamar dalam kesusahan.
“Cari uang sulit, mana
harga-harga makin mahal, bingung saya juga,” ungkap perempuan yang
pernah dua kali melahirkan, namun kedua anaknya meninggal saat lahir
itu. Saat ini Nunung tinggal di rumah kontrakan berdinding bilik
bambu. Biaya sewa rumah itu Rp 120 ribu per bulan. Nasib adik dan
saudaranya tak jauh berbeda. Mereka berpindah-pindah, dari rumah
kontrakan yang satu ke kontrakan lainnya.
Sumber RadarTasikmalaya