Polemik Petani Maruyungsari dan Paledah Memanas, Banjir Sawah Picu Ketegangan Dua Desa di Pangandaran
Oleh Amin Pnd | Sabtu, 24 Mei 2025 04:51 WIB | 18 Views
Padaherang, mypangandaran.com – Konflik antarpetani dari Desa Maruyungsari dan Desa Paledah, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran, terus memanas seiring tak kunjung terpecahkannya persoalan banjir yang merendam ratusan hektare sawah. Kedua desa yang berbatasan itu kini terlibat tarik-ulur kepentingan, membuat situasi di lapangan makin tegang.
Ratusan petani dari Desa Maruyungsari mendesak agar satu titik badan jalan perbatasan dijebol. Menurut mereka, itu adalah satu-satunya cara untuk mengalirkan genangan air yang sudah berhari-hari merendam tanaman padi mereka. Namun, usulan ini ditolak mentah-mentah oleh petani Desa Paledah. Mereka khawatir penjebolan jalan akan memperparah kondisi lahan mereka sendiri dan menimbulkan kerugian serupa.
Ketegangan yang kian membuncah ini memaksa para pemimpin daerah turun tangan langsung. Bupati Pangandaran Citra Pitriyami, Kapolres AKBP Mujianto, Dandim 0625 Letkol CZI Ibnu Muntaha, bahkan mantan Bupati dua periode Jeje Wiradinata, serta perwakilan dari BBWS Citanduy, turut hadir untuk meredam konflik.
Forkopimda pun melakukan kunjungan mediasi ke kedua desa. Ketika berdialog dengan petani Desa Paledah, mereka secara tegas menyatakan penolakannya terhadap upaya penjebolan jalan dan mendesak pemerintah segera memperbaiki saluran pembuangan air sebagai solusi permanen.
Namun situasi berbeda terjadi saat pertemuan dengan petani Desa Maruyungsari di Pasar Bogor, Sabtu (24/5/2025). Saat Bupati Citra menyampaikan hasil pertemuan sebelumnya dan solusi berupa pemasangan tiga unit pompa dari BBWS, suasana mendadak panas. Beberapa petani tampak kecewa dan gelisah, menganggap solusi itu tak cukup cepat dan tak sepadan dengan kerugian yang sudah mereka alami.
"Tanaman padi kami sudah terendam. Kami butuh tindakan sekarang, bukan janji," teriak salah satu petani di tengah kerumunan.
Bupati Citra yang baru menjabat tiga bulan, mencoba menenangkan massa. "Saya bukan Wonder Woman yang bisa menyulap semuanya selesai seketika. Tapi saya hadir di sini, saya dengarkan langsung, dan saya janjikan kompensasi Rp 1,5 juta per hektare jika tanaman gagal panen akibat pompa tidak maksimal," ujarnya dengan suara berat, menahan tekanan dari dua arah.
Ketegangan makin bertambah ketika Jeje Wiradinata turut membantu menjelaskan upaya penyelesaian. Namun sebagian petani malah memilih pergi meninggalkan forum, tanda frustrasi yang tak terbendung.
Meski demikian, tak semua petani menolak. Sebagian akhirnya menerima tawaran solusi dari Bupati Citra, sementara sebagian lainnya tetap bersikeras ingin menjebol jalan demi menyelamatkan sawah mereka yang terendam.
Polemik ini menggambarkan betapa kompleksnya persoalan agraria dan pengelolaan air di kawasan pedesaan. Di tengah himpitan kebutuhan ekonomi dan musim tanam yang kian tak menentu, petani menjadi pihak paling terdampak dan sering kali harus memilih antara kerugian atau konflik.
Pemerintah daerah ditantang untuk tidak hanya mencari solusi jangka pendek, tapi juga membangun sistem drainase yang berkeadilan dan berkelanjutan. Karena jika tidak, ketegangan serupa bisa saja kembali pecah di masa mendatang.