Angin berhembus kencang dari Pantai Barat Pangandaran. Ombak setengah
meter datang silih berganti di pantai yang cukup sohor sampai
mancanegara itu. Pohon kelapa tepi Pantai Barat Pangandaran yang pernah
dihantam tsunami pada 2006 itu bergoyang kesana kemari seakan ingin
segera lari.
Di pucuk salah satu pohon kelapa setinggi sekitar 20
meter dekat kios penjual pakaian, Liwon Haryono nampak tak terganggu
sama sekali oleh angin kencang dan cuaca yang sebentar-sebentar hujan,
sore itu. Mengenakan jas hujan dari plastik bekas, pria berumur 38
tahun itu asyik mengumpulkan nira ke jerigen yang diikat tali ke
tubuhnya.
Selesai memindahkan nira dari botol ke jerigen, ia
mengeluarkan pisau dari sarung yang diikatkan ke pinggang kiri. Dengan
gesit, tangannya melukai sedikit manggar kelapa. Lalu memasang pongkor
di dekat luka itu. Ini dilakukan supaya nira menetes ke pongkor yang
akan diambilnya besok pagi-pagi.
Tak lama kemudian, ia turun.
Cukup hati-hati Liwon melakukannya, selain karena licin juga angin
kencang. Tak sampai satu menit, ia berhasil menapak kembali ke tanah.
Nira
dalam jerigen kecil yang baru diambilnya, ternyata tak langsung
ditampung ke dalam jerigen besar putih yang diletakkan di dekat sepeda
motor yang baru ia dapat dari gadai. Liwon langsung naik pohon kelapa
lagi dengan kecepatan tinggi untuk mengambil nira. Baru setelah jerigen
kecil itu penuh, ia tuangkan ke jerigen besar. Dan begitu seterusnya,
sampai ia benar-benar menuntaskan 35 pohon kelapa.
Setelah
jerigen besar penuh nira, Liwon buru-buru pulang supaya semua nira tadi
tidak basi dan dapat segera diolah menjadi gula kelapa. Jarak tempuh
dari tempat menderes ke rumahnya sekitar 10 menit dengan naik sepeda
motor.
Liwon menetap di rumah sederhana di RT 1/ 9, Dusun Pondok
Lompok, Kampung Panggungan, Desa Sidomulyo, Kecamatan Pangandaran,
Kabupaten Pangandaran. Ia tinggal bersama istri dan anak semata wayang
yang kini duduk di kelas dua MI. Untuk orang-orang tersayang inilah,
Liwon banting tulang.
Petang hari, sesampai di rumah,
satu jerigen penuh nira yang dibawa Liwon langsung masuk ke dalam ketel.
Ketel milik Liwon berukuran 32 atau setara dengan 70 liter air. Ini
tergolong ketel berukuran besar di kalangan penyadap nira.
Seandainya
70 liter itu berupa nira, maka nanti akan menjadi gula merah sebanyak
15 kilogram. Tapi Liwon jarang bisa mencapai 70 liter, paling banter
sehari 60 liter nira. Itu pun di sore hari. Sedangkan di pagi hari
biasanya pulang hanya dengan 20 liter nira.
Proses memasak nira dilakukan Liwon dengan cara tradisional. Ketel diletakkan di tungku batu bata dan apinya berasal dari kayu. Setelah
memanas, air nira di dalam ketel diaduk terus menerus secara merata
sampai matang. Istri Liwonlah yang biasanya bertugas mengaduk isi ketel.
Gula
yang baik, selain tergantung dari cara mengaduknya, juga dipengaruhi
oleh kualitas kayu bakar yang digunakan. Untuk mencapai mutu yang
benar-benar bagus, kayu harus benar-benar kering sehingga apinya menyala
sempurna. Soalnya, bila kayunya masih basah dan apinya tidak sempurna,
kualitas gula akan turun jauh.
Biasanya, Liwon menggunakan kayu
mahoni. Sebulan, rata-rata ia memesan satu truk kayu. Pasaran kayu
mahoni pada saat ini Rp 300 ribu, kalau mahoni dicampur kayu labu Rp 270
ribu, sedangkan kalau hanya kayu labu harganya Rp 160 ribu. Terkadang,
untuk menyiasati pengeluaran yang kelewat besar, Liwon memanfaatkan
bekas kulit atau batok kelapa muda yang sudah kering untuk mengganti
kayu bakar.
Setelah empat jam lewat, sudah mulai jarang terlihat
gelembung-gelembung air nira, warnanya pun berubah menjadi kecokelatan.
Itu pertanda ketel harus diangkat dan diturunkan dari tungku karena
matang. Bila demikian, Liwon dan istrinya pun buru-buru memindahkan
ketel ke tanah.
Tahap terakhir dari proses memasak gula merah ini
ialah mencetaknya. Ini harus dilakukan dengan baik dan rapi. Biasanya,
Liwon memakai mangkok sebagai alat pencetak. Sebetulnya, peralatan untuk
urusan ini banyak macamnya, misalnya menggunakan potongan bambu. Tapi,
Liwon memilih mangkok saja, selain ukuran yang dihasilkan menjadi lebih
besar, juga pekerjaannya menjadi cepat selesai.
Ukuran cetakan
menentukan harga gula. Menariknya, ukuran besar yang biasa dibuat Liwon
justru jatuhnya lebih murah, bila dibandingkan ukuran cetakan lebih
kecil atau bambu. Harga ukuran mangkok hanya Rp 9.200 per kilogram
sedangkan ukuran bambu bisa mencapai Rp 10.500 per kilogram.
Kontribusi
penderes Pangandaran cukup besar bagi pemerintah, terutama dalam hal
penyerapan tenaga kerja. Menurut catatan Asosiasi Gula Kelapa Priangan
(AGKP) saat ini ada sekitar 30 ribu kepala keluarga yang terserap. Belum
lagi anak dan istri penderes yang ikut serta, kalau dihitung-hitung ada
90 ribu orang yang terserap.
Itu belum termasuk kontribusi di
bidang pajak. Tahukah berapa masukan dari Pangandaran? AGKP mencatat
tiap tahun usaha gula kelapa menyumbangkan sekitar Rp 180 milyar ke
pemerintah. Maka tidak heran bila sekarang Pangandaran minta pisah dari
Kabupaten Ciamis. Apalagi Pangandaran memiliki aset pariwisata yang
cukup sohor.
Tentu saja, pencapaian Pangandaran yang sekarang
sudah diakui sebagai Kabupaten Pangandaran, tak bisa dilepaskan dari
para penderes.
Karena Pangandaran merupakan daerah penghasil
gula kelapa, tidak sulit bagi penderes untuk memasarkan gula kelapa,
baik kelompok maupun perorangan. Di daerah ini banyak sekali pengepul
dan warung yang siap menampung produk mereka. Bahkan, pabrik-pabrik
besar pun ada yang langsung membeli ke petani. Karena memang, kualitas
gula kelapa dari daerah ini terkenal mutunya.
Liwon sudah punya
warung langganan. Walau begitu, ia tidak tiap hari menjual gula.
Biasanya, gula yang sudah dicetak ditampung dulu selama sepekan supaya
jumlahnya banyak. Yaitu mencapai 50 kilogram sampai 80 kilogram. "Biar
uangnya pun banyak, kalau sedikit-sedikit jual, nanti uangnya pun
sedikit dan cepat habis," kata Liwon.
Gula dari Liwon dibeli
pemilik warung seharga Rp 9.200 per kilogram. Nanti, pemilik warung
menjual lagi ke pembeli dengan harga lebih tinggi. Misalnya ke pabrik
yang tiap minggu datang ke sana, dijual dengan harga rata-rata Rp 11
ribu.
Itu tidak jadi soal buat Liwon. Karena memang seperti
itulah hukum pasar. Yang menjadi masalah baginya adalah tidak stabilnya
harga jual dari penderes. Kadang naik, kadang turun banyak sekali.
Tapi,
pasaran harga gula selama setahun terakhir ini terbilang lumayan bagus.
Dulu rata-rata hanya Rp 4 ribu sampai Rp 5 ribu per kilogram. Kalau mau
lebaran naik sedikit menjadi Rp 6 ribu. "Alhamdulillah sekarang ini harganya sampai Rp 10 ribu, kalau mau lebaran kemarin sampai Rp 12 ribu," kata Liwon.
Liwon
menjadi penderes sejak Mei 2006, tepatnya sebulan sebelum tsunami
menghantam Pantai Barat Pangandaran. Ia ingat betul, saat tsunami yang
menewaskan banyak orang itu datang, dirinya baru jalan pulang dari
menderes dengan sepeda onthel . Di tengah jalan, tiba-tiba banyak orang
panik, jalan raya penuh orang, dan lalu lintas kacau balau. "Saya kaget
sekali."
Ia terbayang seandainya saja terlambat pulang, tak tahu
lagilah nasibnya. Lokasi pohon kelapa yang biasa ia sadap, letaknya
persis di bibir Pantai Barat Pangandaran, titik terparah tsunami. Saking
besarnya tsunami, sebagian pohon sampai ambruk.
Jauh sebelum
ikut kakaknya menyadap pohon kelapa, Liwon bekerja serabutan, terakhir
jadi penarik becak. Dari kakak pulalah akhirnya ia bisa mengelola
sebanyak 35 pohon kelapa di tepi Pantai Barat Pangandaran. Statusnya
adalah menyewa pohon kelapa. Nasibnya sama juga seperti umumnya penyadap
di kawasan ini.
Dari tiap pohon, harus disisihkan dua kilogram
gula kelapa untuk bayar sewa per bulan. Jadi, tinggal dikalikan saja,
total biaya sewa perbulan berarti dua kilogram kali 35 pohon.
"Bayarannya bisa dalam bentuk uang, tapi kadang juga minta gula," katanya.
Tapi
Liwon tetap bersyukur. Penghasilannya dari menjual gula, setelah
dipotong bayar sewa pohon kelapa, bila dihitung-hitung, tetap untung.
Bisa menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak.
Menjalani
kehidupan menjadi penderes tidak mudah, terutama di awal. Ini dirasakan
Liwon pada waktu baru beralih pekerjaan. Selain karena harus
menyesuaikan diri, juga soal keterampilan memanjat. Pernah suatu kali di
minggu-minggu pertama jadi penderes, Liwon bingung bukan main ketika
ingin menaiki pelepah pohon kelapa. Tapi dengan tekad yang kuat, ia
berhasil naik. Hanya saja, ia tidak bisa turun. Kakinya sampai
gemetaran.
Apalagi pohon kelapa yang harus dia naiki tingginya
rata-rata 20 meter. Terkadang, Liwon sampai awang-awangen (takut
ketinggian). Apalagi saat angin pantai sedang besar-besarnya, pohon
seakan-akan hendak rebah ke tanah. Belum lagi hujan, pohon terasa
seperti diolesi oli bekas sepeda motor, saking licinnya.Dari
semua itu Liwon telah belajar, segala hal yang menyangkut keterampilan,
pasti bisa dikuasai oleh siapapun asalkan tidak putus asa dan terus
berlatih.
Pekerjaan apapun pasti ada risikonya.
Begitu keyakinan dalam diri Liwon. Tak terkecuali menderes pohon kelapa.
Setiap pagi dan sore, penderes harus memanjat pohon untuk mengambil
nira. Sebab, bila terlambat, dapat dipastikan nira akan basi dan
sia-sialah semua.
Dengan keyakinan seperti itu, Liwon tidak
pernah takut, kendati harus memanjat 70 kali tiap hari. Yang namanya
musibah baginya tidak pernah dapat diduga. Selama ini, banyak sekali
penderes yang terkena musibah. Jatuh dari atas pohon dan meninggal atau
cacat seumur hidup.
Belum lama ini, kejadian naas itu menimpa
seorang penderes lagi. Ketika sedang sibuk mengumpulkan nira di
ketinggian 25 meter, tiba-tiba dahan kelapa yang diduduk sempal. Lalu
tubuhnya terpelanting dan nyawanya tak tertolong.
"Alhamdulilah saya
belum pernah mengalaminya. Saya kalau minta, ya tidak mau celaka. Orang
kerja kan tidak tahu kapan apesnya. Yang penting hati-hati kalau mau
naik," kata Liwon sambil menyeka keringat.
Sebagai antisipasi
terhadap hal-hal yang tidak diinginkan, setiap hari sebelum berangkat ke
tempat menderes, Liwon mempersiapkan diri betul. Kalau dirasa tidak
sehat, ia tidak jadi pergi. Tapi kalau hanya kurang fit saja, biasanya
ia minum obat yang dibeli dari warung Sedangkan untuk menjaga
kesehatannya, ia rutin minum telur ayam kamu dan memperbanyak minum air
putih.
Tapi kadang-kadang, faktor yang menyebabkan terjadinya
hal-hal yang tidak diinginkan selama bekerja bukan saja soal kesehatan,
tapi lingkungan. Liwon pernah punya pengalaman hampir celaka. Waktu itu,
ia sudah berhasil memanjat setengah pohon, tapi tiba-tiba merosot lagi
ke bawah. Untungnya, tidak terjadi apa-apa.
Memang ada saja
pengalaman yang ditemui orang-orang yang mata pencahariannya di
ketinggian, seperti Liwon ini. Ada duka, ada suka. Macam-macam.Ini
lagi cerita Liwon. Pada suatu hari, ia berada di ketinggian 20 meter.
Di bawah sana, di antara suara debur ombak, sepasang bule sedang memadu
kasih.Di lain hari, Liwon kembali menyaksikan muda-mudi sedang
asyik masyuk di semak-semak. Entah apa yang terjadi sampai semak-semak
itu bergoyang terus menerus.
"Malu juga sih melihatnya, tapi kita nglirik-nglirik juga, wong punya mata," kata Liwon sambil tertawa lebar.
Sumber : Reuni Kita