Tamu yang tak diharapkan ini kembali lagi berkunjung ke Tanah Air kita.
Namun, berbeda halnya ketika ia mampir di Aceh pada pagi hari bulan
Desember tahun 2004 atau saat ia berkunjung di Pangandaran pada sore
hari bulan Juli 2006, kali ini ia datang pada malam hari bulan Oktober
di Mentawai. Hal ini tentu saja menyulitkan kita menemukan saksi
mata / rekaman video yang melaporkan kapan tepatnya tsunami itu melanda
agar kita dapat menilai apakah suatu tindakan pencabutan peringatan / warning
yang kontroversial itu sudah tepat atau masih keliru. Mungkin sudah
tiba saatnya bangsa kita memiliki pakar forensik tsunami seperti Dr
Munaim Idris untuk forensik manusia dalam hal ini ia bertugas untuk
menentukan saat tsunami memulai aksinya. Namun, kapan pun dan di mana
pun tamu istimewa ini berkunjung, jejaknya amatlah fantastis.
Keperkasaan energi yang diserapnya dari gangguan gempa di tengah laut
akan ditunjukkannya pada daerah pantai. Hal ini terekam dengan begitu
banyaknya kehancuran plus sedikit keajaiban yang mengiringi
kepergiannya. Ini seyogyanya menjadi tantangan bagi kita semua untuk
menjinakkannya. Mampukah kita menjawab tantangan ini?
Sistem peringatan dini
Kita telah mengetahui bahwa tsunami adalah sejenis gelombang laut
yang amat berbeda dengan gelombang laut lainnya yang ditimbulkan
pasang-surut ataupun akibat aksi angin. Keunikan tsunami terletak pada
kecepatan rambatnya yang amat besar namun beramplitudo kecil saat ia
baru terbentuk akibat adanya gempa di laut dalam, namun amplitudo
gelombangnya ini kemudian berubah menjadi besar sebagai kompensasi
menurunnya kecepatan tsunami karena mendangkalnya laut sebelum ia
mencapai pantai. Ini adalah suatu bentuk demonstrasi hukum kekekalan
energi. Energi kinetik diwakili kecepatan tsunami sedang energi
potensial digambarkan oleh amplitudonya. Untuk maksud peringatan dini,
kita hanya akan meninjau tentang tsunami lokal yakni tsunami yang tiba
di pantai pada jarak sekitar 100 km dari sumber gempa atau tsunami yang
membutuhkan waktu kurang dari sejam untuk mencapai pantai (http://ioc3.unesco.org/itic/contents.php?id=19).
Tsunami yang terbentuk dekat Pulau Pagai Selatan Mentawai Oktober
lalu tergolong tsunami lokal. Tsunami tersebut didahului gempa
berkekuatan 7,7 pada skala Richter pukul 21.42 WIB pada kedalaman laut
20,6 km. Informasi ini terkandung dalam pesan Local Watch Bulletin
nomor 1 yang dikeluarkan PTWC (Pacific Tsunami Warning Center) pada
pukul 21.49 WIB. Pusat ini bernaung di bawah NOAA yakni lembaga kelautan
dan atmosfer USA (http://www.weather.gov/ptwc/). Buletin ini
juga telah menyebutkan tentang kemungkinan adanya tsunami lokal yang
diperkirakan tiba di Siberut, Bengkulu, dan Padang masing-masing pada
pukul 22.10, 22.27, dan 22.28. Buletin ini pun telah diinformasikan
kepada pihak terkait dan seperti BMKG melalui (referensi: komunikasi
email saya dengan seorang staf PTWC tanggal 29 Oktober 2010). Pada pukul
22.49, PTWC kembali mengeluarkan buletin nomor 2 dengan isi yang mirip
dengan buletin 1. Kemudian PTWC membatalkan peringatan tsunaminya pada
pukul 23.42 karena ancaman tsunami dianggap telah berlalu. Hal ini
dikuatkan tambahan informasi (supplement) berupa hasil pengukuran
aktivitas tsunami di Tanah Balah, Padang dan Enggano dan pada pukul
23.57. Aktivitas tersebut adalah amplitudo tsunami dan periode antar
satu gelombang tsunami dengan tsunami lainnya-–rupanya ada serentetan
tsunami (gelombang soliter) yang datang.
Seberapa efektifkah peringatan dini (baik gempa maupun buletin PTWC
di atas)? Mari kita lihat kesaksian dua orang tentang momen tsunami
tersebut. Salah seorang di antaranya bernama Supri Linda dari Sikakap
yang diakses via internet (http://nasional.vivanews.com/news/read/185575-tsunami-mentawai--pemerintah-yang-abai).
Beliau mengatakan bahwa tsunami tiba 10 menit setelah gempa, artinya
pukul 21.52. Saksi dari Australia Rick menyaksikan tsunami datang
sekitar pukul 22.00 (http://dunia.vivanews.com/news/read/185838-video--detik-detik-tsunami-di-mentawai).
Ini berarti 18 menit setelah terjadi gempa. Guncangan akibat gempa
sebagai peringatan dini tampaknya lebih baik sebagai peringatan dini
tsunami karena minimal ada rentang waktu sekitar 10 menit untuk
menghindar. Pantas saja sistem tradisional (indigineous knowledge) seperti smong di Pulau Simeulue, Aceh masih terbukti ampuh. Sistem ini ada sejak tsunami tahun 1907 (unesdoc.unesco.org/images/0018/001898/189842e.pdf).
Namun yang perlu diingat adalah bahwa tidak setiap gempa akan
menimbulkan tsunami. Itulah sebabnya kita masih membutuhkan produk IPTEK
seperti buletin PTWC di atas walaupun kita mengetahui bahwa rentang
waktu untuk mempersiapkan diri adalah begitu singkat. Pertanyaan
selanjutnya adalah bagaimana sistem peringatan dini tersebut disampaikan
ke warga? Kalau dalam bentuk goncangan gempa mungkin para warga bisa
merasakannya dan mereka segera lari ke tempat yang sesuai (daratan yang
lebih tinggi). Namun kalau peringatannya hanya via internet/email atau
telepon seluler, bagaimana menyebarluaskannya kepada warga yang mungkin
saja belum terjangkau fasilitas semacam itu? Penulis bersama sekelompok
mahasiswa sedang merancang sistem peringatan dini tsunami berbasis
telepon seluler untuk memanfaatkan warning PTWC.
Peta inundasi air laut
Bangsa ini beruntung sudah memiliki pakar tsunami di ITB (Dr Hamzah
Latif, alumnus Universitas Tohoku) yang telah berhasil merekonstruksi
tsunami Mentawai. Videonya masih tersimpan http://nasional.vivanews.com/news/read/185792-video-animasi-tsunami-mentawai. Simulasi tinggi (inundasi) diukur terhadap muka laut dan sejauh mana genangan air laut di daratan (run-up)
selanjutnya diverifikasi kebenarannya. Hal ini dilakukan dengan melihat
sisa-sisa (deposit) yang ditinggalkan tsunami. Setelah itu fokus
simulasi ini ditujukan pada pengaruh tanaman dalam mengurangi energi
tsunami baik di tepi pantai maupun di darat. Dokumentasi peristiwa
tsunami pada berbagai media yang begitu mudah diakses melalui internet
menunjukkan bahwa pepohonan masih mampu bertahan dari terjangan tsunami
dibanding bangunan. Tak heran jika para peneliti Jepang dan Sri Lanka
telah menguji efektivitas berbagai varietas tanaman sebagai perisai
tsunami (Tanaka dkk, Jurnal Civil Engineering and Environmental Sytems,
2009). Hal ini juga mungkin bisa menjadi inspirasi para pembangun rumah
untuk meniru struktur akar tanaman, misalnya bakau, agar tak lekang
diterjang tsunami. Dengan adanya peta inundasi dan run-up ini,
kita dapat melihat lokasi yang tepat untuk menjadi tempat penyingkiran
masyarakat sementara setelah mereka menerima peringatan dini. Hal yang
menjadi tantangan besar bagi penyiapan peta semacam ini adalah bagaimana
menentukan: kapan, di mana, dan berapa kekuatan gempa?
Selain faktor teknis di atas, keberhasilan mengurangi dampak tsunami
juga tentu tergantung pada faktor manusia. Namun, melihat contoh
kesuksesan mitigasi Gunung Merapi yang berada di bawah komando Dr
Surono, ada harapan bahwa kita pun juga dapat melakukannya pada kasus
tsunami jika <>constraint waktu