Bermodal sebuah gelang keroncong, Susi
memulai bisnisnya sebagai penjual ikan. Ternyata, dalam 25 tahun, ia
berhasil menjadi pengusaha pesawat carteran. Padahal, SMA pun ia tak
lulus!
“Mimpi bukan sekadar bunga tidur.” Inilah kredo yang tak sengaja
terlontar dari Susi Pudjiastuti (45), President Director Susi Air –
Passenger and Cargo Aircraft Charter, yang sejak 2004 melayani rute-rute
tak populer di berbagai pelosok terpencil Indonesia. Wanita yang
dikenal sebagai Susi ‘Air’ ini menambahkan, sepotong mimpi adalah
angan-angan, yang dengan doa, menjadi cita-cita yang menyihir rasa,
memukau untuk dikejar dan dijangkau. Hasilnya, dari ‘memungut’ ikan di
Pantai Pangandaran, kini ia memiliki 37 pesawat terbang yang harga
sewanya 10.000 dollar AS per hari. Susi bercerita, pada pembelian
pesawatnya yang ke-30, para petinggi industri pesawat di Amerika Serikat
memperlakukannya bak seorang ratu.
ANAK KAMPUNG TERPESONA MONTOR MABUR
Mimpi Susi sejak sekitar 40 tahun silam adalah punya montor mabur
(pesawat terbang), yang sesekali ia saksikan melintas terbang tinggi,
jauh di atas petak kebun kelapa milik ayahnya. “Montor mabur, montor
mabuuur…! Bagi duiiit…!” Begitulah Susi kecil selalu berteriak-teriak
gembira, baik ketika ia sendirian atau saat main bersama teman-teman
sebayanya, tiap kali melihat montor mabur melintas di udara pesisir
Pangandaran, Ciamis Selatan, Jawa Barat, kampung halamannya.
‘Mimpi’ anak petani kelapa itu juga kerap terbawa tidur, ke alam mimpi
sebenarnya, di mana ia sering merasa terbang dengan pesawat miliknya
sendiri ke mana ia suka. Bahkan, ia merasa kerap nyetir pesawat sendiri.
Mimpi yang menurut ibunya, Hajjah Suwuh Lasminah, amat nyeleneh! “Lha,
wong, anak desa, kok, mimpi punya montor mabur!” celetuk ibunya, sambil
mesem ke arah Susi, awal Desember lalu, di Bandara Halim Perdana Kusuma,
Jakarta. Susi balas tersenyum seraya menyodorkan sekaleng minuman
kepada sang ibu, lalu duduk sambil memijat-mijat punggung wanita
berkerudung itu.
Susi menyimpan mimpinya itu hanya untuk dirinya. Tetapi, tak jarang
angan-angan itu terkuak juga. Sering tanpa sadar ia bergumam, “Kapan,
ya, aku punya kapal terbang, biar bisa keliling dunia…?” Gumam kerap
ditertawakan teman sepermainan. Susi tak marah. Dalam gumaman itu seakan
ia terus memupuk cita-citanya.
Di sekolah, saat pelajaran menggambar, sering tanpa sadar ia membentuk
gambar pesawat. Lucunya, dalam pesawat itu, dia memenuhinya dengan
gambar ikan-ikan dalam keranjang. Gurunya sering heran dan berucap,
“Pesawat terbang mahal-mahal, kok, dimuati keranjang ikan? Bau amis,
atuuuh…!” kenang Susi, menirukan kritik gurunya.
Entah apa ada hubungan alam bawah sadar antara gambar pesawat di angkasa
kampungnya, dengan ikan-ikan tangkapan nelayan yang sehari-hari
dilihatnya? Susi hanya mesem saja. Yang pasti, mimpi anak pantai yang
tak masuk akal itu terwujud enam tahun lalu, ketika ia berhasil membeli
pesawat pertamanya.
Kini, Susi memiliki 37 pesawat. Dan, besar kemungkinan jumlahnya terus
bertambah. Tak kalah unik, pesawat-pesawat terbang itu ia beli dan
wujudkan dengan tujuan: untuk dagang ikan. Tiap hari, armada miliknya
terbang ke berbagai pelosok pesisir Indonesia, membeli berjenis ikan dan
udang pilihan, dari tangan nelayan dengan harga bagus, membawanya ke
berbagai pasar potensial di banyak negeri.
“Mimpi itu tidak dosa, lho!” ucap Susi. Sementara sang ibu menimpali
dengan komentar lebih sederhana lagi, “Anakku wedhok (perempuan) satu
ini memang gila….”
DROP OUT BUKAN KARENA
MALAS
Susi anak sulung dari tiga bersaudara, kelahiran Pangandaran, 15
Januari 1965. “Ayah-Ibu asal Jawa Tengah yang sudah lima generasi
lahir dan hidup di Pangandaran. Menurut cerita, kakek buyut saya
saudagar sapi dan kerbau, yang membawa ratusan ternak dari Jawa Tengah
untuk diperdagangkan di Jawa Barat ini. Saya tak tahu bagaimana
ceritanya sampai beliau menetap di Pangandaran. Yang pasti, Haji Ireng,
kakek buyut saya, dikenal sebagai tuan tanah,” kisah Susi.
Sebagai keturunan Haji Ireng, ayah Susi, Haji Karlan, termasuk tuan
tanah di kampungnya. Tanah ayahnya banyak, antara lain kolam-kolam ikan
dan kebun kelapa untuk dipanen dan dijual kopranya. Sang ayah juga
mengusahakan beberapa buah perahu untuk para nelayan mencari ikan dengan
sistem bagi hasil. Di tengah keluarga berkecukupan itu Susi tumbuh dan
besar.
Pangandaran sekarang memang sudah berbeda dengan saat masa kecilnya.
Pangandaran kini menjelma menjadi kawasan wisata yang amat ramai.
Sebagai objek wisata primadona Jawa Barat, keramaian turis yang datang
tak cuma di hari Sabtu-Minggu ataupun saat-saat ada upacara labuh laut,
tetapi juga di hari-hari biasa. Kampung di pesisir pantai itu pun kini
sudah menjadi kota, bahkan sedang digadang-gadang untuk menjadi ibu kota
Ciamis Selatan.
Dulu, meskipun sudah dikenal sebagai salah satu objek wisata, Pantai
Pangandaran masih saja sepi pengunjung. Di hari Sabtu-Minggu atau hari
libur pun amat jarang ada wisatawan yang datang.
Karena itu, meski terlahir dari keluarga berada, Susi kecil tetap saja
Susi anak kampung yang sepi. Ajang gaul-nya pun sebatas pada anak
kampung, anak desa. Pasar di dekat rumahnya, dulu cuma ramai hingga
pukul sembilan pagi. Sekolah dasar negeri memang ada, beberapa, dengan
bangunan setengah tembok dan selebihnya berdinding bilik bambu berlantai
tanah. Susi bersekolah di SD Negeri 8 Pangandaran antara tahun
1972-1977, dan lalu ke SMP Negeri 1 Pangandaran pada 1978-1980.
Jangan ngomong soal dokumentasi foto masa kecil Susi. “Boro-boro studio
foto, pemotret keliling berbekal tustel polaroid pun belum ada waktu
saya kecil. Bahkan, sampai remaja pun, namanya urusan foto, terasa
sebagai sesuatu yang mahal bagi saya. Pernah, beberapa kali saya minta
dijepret oleh tukang foto keliling saat main-main bersama teman di
pantai. Tetapi, entah ke mana lembar foto elek itu sekarang,” katanya,
sambil terpingkal-pingkal.
Sebenarnya, pernah juga Susi melihat ‘dunia’ di luar kampungnya
saat-saat piknik dengan sekolah, atau diajak oleh orang tuanya melihat
keramaian Kota Ciamis atau Tasikmalaya. “Tetapi, saya benar-benar baru
‘melihat’ dunia luar setelah lulus SMP,” ungkap Susi. Tak jelas, apakah
saat itu di Pangandaran sudah ada SMA atau sekolah lanjutan setara, yang
pasti orang tuanya mengirim Susi bersekolah di SMA Negeri 1
Yogyakarta.
Susi tak menjelaskan masa-masa remajanya di SMA di Yogyakarta. Dia tak
pula menjelaskan, di mana dan di tempat siapa ia kos saat di Kota Gudeg
itu. Dia hanya membuka sedikit rahasia, “Saya teman sekelas Iwan
Qodar, suaminya Uni Lubis (wakil pemimpin redaksi ANTV-Red),” ungkap
Susi
Ya, saat di SMA, Susi memang tidak tuntas belajar. Ia drop out di kelas
dua. Apa dan kenapa? Lagi-lagi Susi enggan untuk menjelaskan. Tapi,
pastinya ia putus sekolah bukan karena malas belajar. “Saya amat suka
belajar, dan membaca buku-buku teks berbahasa Inggris,” ungkap wanita
berambut ikal yang fasih berbahasa Inggris ini.
Tetapi, ya, itu tadi. Meski mempunyai otak encer dan dana cukup, Susi
terbentur tembok juga. “Terbentur tembok dalam arti sebenarnya,” kenang
Susi. Ia pun berkisah tentang bagaimana suatu kali ia tergelincir di
tangga, lalu tubuhnya menggelinding ke bawah dan baru berhenti ketika
kepalanya terbentur tembok dinding sekolahnya.
Susi sampai harus terbaring di tempat kosnya beberapa hari. Sakit
berkepanjangan membuat orang tuanya memintanya balik ke Pangandaran, dan
dia kemudian memutuskan untuk tak balik lagi ke sekolah. Alasannya
sederhana, “Saya ini orang yang tidak mau diatur.” Bahkan, ibu dan
bapaknya sempat melongo ketika tahu Susi tak mau melanjutkan sekolah.
“Tetapi, mau bilang apa lagi, Susi maunya begitu…,” ungkap sang ibu.
Orang tua boleh kesel saat itu. Tetapi, dipikir-pikir lagi, bisa jadi
itu memang jalan hidup yang harus ia jalani. “Rasanya begitulah kehendak
Gusti Allah untuk saya. Kalau saja saya terus sekolah, lulus SMA, lalu
kuliah di perguruan tinggi, pastilah cerita hidup saya akan berbeda,”
katanya, tertawa, sembari mengusap-usap bagian depan kepalanya, yang
bisa jadi merupakan titik benturan semasa SMA. “Apa karena terbentur
itu, ya, ’pikiran’ saya lantas jadi aneh…?” lanjutnya, lagi-lagi sembari
tertawa.
AWALNYA PENGEPUL IKAN
& KODOK
Gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit. Sejak kecil, Susi
sudah menyukai ungkapan itu. Belakangan Susi tahu, kata-kata itu adalah
salah satu ucapan Bung Karno di buku Sarinah. Kata-kata mutiara itu
mendekam di hati, ibarat sihir kehidupan bagi Susi.
“Ada cita-cita saya lainnya ketika kecil, yakni ingin jadi ahli
oceanologi, ahli bidang ilmu kelautan!” ungkapnya. Cita-cita yang di
mata sang ibu dianggap terlalu muluk. Bu Suwuh, begitu warga Pangandaran
menyapa ibunya, memang tak tinggi-tinggi dalam memprediksi masa depan
putri sulungnya itu. “Dulu saya membayangkan paling banter ia akan
bernasib baik seperti saya. Jadi seorang istri, ibu rumah tangga, hidup
ayem di rumah sambil ngurus keluarga dan kebun…,” kata Bu Suwuh, yang
ditanggapi Susi dengan mengangguk-anggukkan kepala.
Susi sendiri bisa jadi cuma menganggap cita-citanya saat kecil itu
sebagai gumaman seorang anak. Buktinya, saat remaja, ia mesti balik
kampung –meninggalkan Yogyakarta-- dengan kepala benjol. Apa yang bisa
dilakukan seorang gadis remaja yang cuma drop out SMA? Leyeh-leyeh di
rumah menikmati segala fasilitas orang tua? “Itu bukan watak saya!” kata
Susi, tegas. Pergi ke kota untuk bekerja di pabrik-pabrik, seperti
banyak dilakukan teman-temannya? Susi bilang, “Emoh (tidak mau) aku….”
Susi ingat, masa-masa di SMP di kampungnya, ataupun semasa SMA di
Yogyakarta, dia suka dagang kecil-kecilan antarteman. Kadang-kadang ia
membeli baju atau T-shirt untuk dijual kepada teman. “Jualan kaus golput
pun pernah,” katanya, tertawa. Jadi pedagang, inilah ‘peluang kerja’
yang disasar Susi untuk hari depan. Ia melihat, kampungnya, khususnya di
pesisir pantai, kian berkembang sebagai daerah tujuan wisata.
Hotel-hotel tumbuh menjamur. “Saya ambil bed cover dan sarung bantal
dari kenalan di Yogyakarta, dan menawarkannya ke hotel-hotel yang ada.
Lumayan susah meyakinkan pemilik hotel untuk membeli dagangan saya,”
ungkap Susi, tentang masa-masa remajanya yang penuh kerja keras itu.
Sebetulnya, Susi tak harus susah. Kalaupun ia tak bekerja, ia masih bisa
makan enak di rumah orang tuanya. “Tetapi, tak bisa kan kita
terus-menerus menyusu pada orang tua? Hewan saja mengajarkan pada kita,
bahwa setelah dewasa ia tak lagi menyusu, dan mencari makannya sendiri.
Apalagi kita, manusia, yang diberi akal,” kata Susi. Itu sebabnya, ia
bertekad, mengandalkan kemampuannya, berbuat sesuatu, mencari nafkah,
untuk kebaikan dirinya di masa depan.
Belakangan, usaha dagang keliling menjual bed cover ia tinggalkan. Ia
tersadar potensi besar dunia maritim yang membentang di sekitarnya.
Pangandaran adalah tempat pendaratan ikan yang amat potensial di pesisir
selatan Pulau Jawa. Tiap hari ratusan nelayan mendaratkan perahu-perahu
jungnya di pantai itu, dengan hasil yang melimpah. “Tak jadi ahli
oceanologi tak apalah…,” ucap Susi, yang lantas alih profesi menjadi
bakul ikan.
Bakul ikan adalah pengepul hasil laut tangkapan nelayan, yang dilakukan
oleh kaum wanita. Tahun 1983, berbekal Rp750.000 hasil menjual gelang
keroncong, kalung, serta cincin miliknya, Susi mengikuti jejak banyak
wanita Pangandaran sebagai bakul ikan. Tiap pagi di jam-jam tertentu,
Susi nimbrung bareng yang lain, berkerumun di TPI (tempat pelelangan
ikan), menjadi peserta lelang. Ia cuma perlu menaksir cepat berapa harga
jual ikan-ikan di keranjang yang sedang ditawarkan juru lelang,
memperkirakan kepada siapa ikan-ikan itu akan dijual, dan dengan cepat
memutuskan untuk membeli ikan-ikan yang dilelang itu.
Tentu tak mudah bagi Susi muda dalam menjalani profesi barunya ini. Di
hari pertama misalnya, ia cuma berhasil mendapatkan 1 kilogram ikan
saja, pesanan sebuah resto kecil kenalannya. Esoknya, setelah ia mulai
lebih bisa meyakinkan calon pembeli, ikan yang didapat lebih besar lagi
jumlahnya. Tiga kilo, tujuh kilo… begitu seterusnya. Tak jarang, ia juga
salah taksir hingga merugi saat ikan-ikan yang dibelinya harus dijual
lagi. Bahkan, tak jarang pula pemesan ingkar, tak jadi membeli ikan dari
bakul Susi. Semua itu dinamika kerja bagi Susi, yang mesti dilalui di
bidang apa pun.
Cuma dalam tempo setahun Susi bisa menguasai pasar Pangandaran, dan
bahkan pasar Cilacap yang bisa ditempuh dalam tempo tiga jam bermobil
dari Pangandaran. Kian maju usahanya, Susi pun mulai mengusahakan perahu
untuk disewa nelayan. Hasil tangkapannya ia beli dengan harga yang
baik. Dari satu dua perahu, kini ada ratusan perahu di Pangandaran dan
Cilacap yang diakui nelayan penggunanya sebagai ‘punya Ibu Susi’.
“Produksi ikan nelayan Pangandaran (dan tempat lain di selatan Jawa)
itu amat berlimpah,” kata Susi. Memang, ada bisnis pariwisata yang
berkembang di kawasan itu. Tapi, limpahan ikan tiap hari itu tak
sebanding dengan daya serap masyarakat sekitar, bahkan walau pasar
bertambah dengan makin berkembangnya industri wisata di sana. Tiap hari
ada saja ikan segar yang tak terserap pasar, dan solusinya dijadikan
ikan awetan, sebagai ikan kering ataupun ikan asin. “Sementara kita
tahu, ikan segar jauh lebih mahal harga jualnya dibanding ikan asin,”
ungkap Susi.
Entah dapat ilham dari mana, Susi muda pun mulai berpikir membuka pasar
di luar Pangandaran dan sekitarnya. Sasarannya, kota besar. Jujur, ia
tak memilih Bandung, apalagi Ciamis ataupun Tasikmalaya. Ia menyasar
Jakarta, yang menurut perkiraannya penduduknya memerlukan pasokan banyak
ikan. “Puluhan ton ikan segar tiap hari masuk ke Jakarta, dan selalu
terserap habis! Intinya, ya, itu tadi… harus segar!” ucap Susi, yang
cuma beberapa bulan saja jadi bakul, untuk kemudian meningkat jadi
pengepul besar hasil laut.
Segar! Inilah kata kunci yang ditemukan Susi muda dalam melakoni bisnis
hasil laut. “Bagaimana membawa ikan ke pasar sesegar saat ikan diangkat
nelayan dari laut,” kata Susi, sederhana. Sementara, ia tahu pasar
besar itu ada di luar sana, berpuluh bahkan beratus kilometer jaraknya
dari Pangandaran. Bagaimana hasil laut yang dikumpulkannya, hasil
tangkapan nelayan yang menyewa perahu-perahunya, bisa sampai ke pasar
dalam keadaan segar?
Untuk itu, “Saya mesti bisa berpacu dengan waktu!” ungkap Susi, yang
mengaku agak tomboi saat remaja. Solusi untuk mencari kesegaran itu?
“Saya mulai mengusahakan mobil untuk mengangkut ikan-ikan yang berhasil
saya kumpulkan,” katanya. Dari sekadar menyewa, ia pun lantas membeli
truk, dengan sistem pendingin es batu, dan membawa hasil laut ke
Jakarta. Dari sekadar membawanya langsung ke pasar-pasar di Jakarta,
sampai kemudian ia menemukan ‘orang’ yang mau menerima langsung
ikan-ikan yang dibawa truk-truknya. Bahkan kemudian ia dipercaya oleh
beberapa pabrik sebagai pemasok tetap ikan segar untuk ekspor.
“Tiap hari, pukul 15.00, saya berangkat dari Pangandaran. Sampai di
Jakarta tengah malam. Mandi dan istirahat sebentar, lalu balik lagi ke
Pangandaran,” kata Susi, tentang rutinitasnya. Bertahun-tahun itu
dilakukannya. Di mobil, sering ia tak sekadar tidur, istirahat menjaga
kesehatan, tetapi juga berpikir bagaimana usahanya bisa berkembang.
“Saya amati, sepanjang kawasan Cikampek hingga Karawang itu, kalau malam
selalu ramai oleh suara kodok,” katanya. Ada banyak pencari kodok di
kawasan itu. Kodok hidup laku di pasar Glodok. Bahkan, ada orang yang
ingin membelinya untuk diekspor ke Singapura dan Hong Kong. Peluang
bisnis yang tak Susi sia-siakan. Dalam perjalanan Pangandaran-Jakarta
pun ia tak pernah lupa mampir ke sentra-sentra pengepul kodok itu,
membawanya sekalian ke beberapa pasar di Jakarta. Tak heran bila di
tempat-tempat itu ia sempat juga dijuluki ‘Susi Kodok’!
Agustus 2005, Kami yang sedang tugas ke Jepang, menyempatkan diri
jalan-jalan ke pasar ikan Tsukiji yang terletak di pinggiran Tokyo. Di
pasar ikan modern dan terbesar di Jepang itu, dipasarkan beragam produk
ikan dalam dus kotak berlabel Susi Brand. Hati jadi ikut membuncah
bangga, ketika membaca kalimat di tepi dus-dus itu yang berbunyi: PT ASI
Pudjiastuti Marine Product – Pangandaran, Indonesia.
Nama Susi Pudjiastuti juga disebut seorang pemilik resto di Pantai Sai
Kung, Hong Kong yang dipenuhi resto seafood. Berbagai jenis ikan dan
udang, juga lobster hidup kualitas nomor satu yang ada setelah
diselisik, ujung-ujungnya ada nama Susi sebagai pemasok.
FILOSOFI PALUGADA
“Modal utama saya dalam bekerja itu adalah rasa suka,” ungkap
Susi, suatu kali. Ia sekadar memaparkan pengalamannya, bahwa rasa suka
atau hobi itulah yang membuatnya ajek menjadi bakul ikan sejak 1983.
Rasa suka itu juga membuat isi kepalanya lebih jernih untuk memprediksi
kecenderungan pasar dan mencari produk berkualitas baik untuk memenuhi
pesanan dan permintaan. Kemudian, dari situlah ia mendapatkan untung,
sebuah bayaran dari rasa cinta yang ia wujudkan dalam karya.
“Tetapi, bisnis itu sesuatu yang tidak pasti.” Susi sudah menyadari itu
sejak remaja. Sebagai bakul ikan misalnya, kadang-kadang produk hasil
laut yang dibelinya tak laku saat dijajakan. Tak jarang pula ketika ada
pesanan, ia tak berhasil memperoleh apa yang dipesan itu. “Jadi, kita
harus selalu waspada dan hati-hati dalam melihat permintaan dan pasokan
agar tak rugi waktu, tenaga, dan uang,” lanjutnya.
Saat mengawali bisnis ikannya, Susi memang bukan satu-satunya bakul ikan
di Pangandaran. Ada banyak wanita dan pria yang berprofesi sama:
ngumpul bareng di tempat pelelangan ikan, menebak dan membeli ikan-ikan
pilihan, lalu berebut mengejar pembeli atau menjualnya lagi ke pasar.
“Kalaulah harus rebutan seperti itu, pastilah saya kalah. Apalagi,
mereka kan punya jam terbang lebih panjang dari saya.”
“Saya cuma mengikuti naluri dan feeling,” katanya. Sebagai anak pantai
misalnya, ia tahu begitu banyak jenis hasil laut yang berhasil
didaratkan nelayan tiap hari.
“Sejak semula saya hanya memilih jenis ikan-ikan tertentu, yang saya
perkirakan akan laku dan memberi keuntungan lebih besar dari jenis
lainnya.” Ikan-ikan jenis tertentu (seperti kakap, ekor kuning, bawal,
kerapu, atau marlin) dan udang (khususnya lobster) merupakan produk laut
yang jadi ‘spesialis’ Susi sejak awal. Apalagi, setelah ia melebarkan
sayap, mencari dan membuka pasar baru yang lebih luas dari sekadar
Pangandaran dan Cilacap.
Hobinya mampir tiap sore ke pinggir-pinggir sawah di kawasan Cikampek,
untuk ‘rendezvous’ dengan para penangkap kodok ijo, juga merupakan salah
satu usahanya untuk menjadi pemasok ikan yang andal. Seperti istilah
palugada (apa lu mau, gua ada) yang biasa dijadikan pegangan para
pebisnis, Susi sedapat mungkin memenuhi segala permintaan pemesan akan
sebuah produk. Yang terpenting, ia tetap memegang prinsip, “Cari dan
siapkan barang yang bagus, maka pembeli akan senang. Keuntungannya,
harga jual bisa lebih bagus!” ungkapnya. Selain frog legs, Susi juga
memasok bird nest alias sarang burung walet yang diambilnya dari para
pemanen di gua-gua laut yang banyak terdapat di pesisir pantai selatan
Pulau Jawa.
Untuk semua bisnis kesukaannya itu, Susi jungkir-balik lebih dari 12
tahun. Ia tak bosan-bosan menjalin hubungan baik dengan nelayan di
berbagai daerah. Ia juga turun sendiri mencari pasokan dan mengantarnya
sendiri ke pembeli, sementara pasar-pasar baru terus ia buka dan
upayakan. Sebuah pemikiran ke depan yang mungkin tak dimiliki generasi
bakul ikan seangkatannya di Pangandaran.
SUSI BRAND
Satu jenis produk laut yang sejak awal kariernya selalu diburu
Susi adalah lobster. “Permintaan pasar besar sekali, tetapi hasil
tangkapan nelayan relatif sedikit,” ungkap Susi. Padahal, perairan
Indonesia amat dikenal dunia sebagai gudangnya udang besar yang biasa
hidup di perairan pantai berkarang. Namun, karena habitatnya yang khas
itu, cuma sedikit saja lobster yang umumnya tersangkut jaring nelayan
yang cenderung berkonsentrasi pada jenis-jenis ikan pelagis atau ikan
laut permukaan. Selain itu, lobster juga jarang mau tergoda makan umpan
nelayan pancing yang biasa menyasar jenis-jenis ikan demersal (laut
dalam).
Bagi Susi, ini sebuah peluang bisnis yang amat menantang. Susi pun
berkelana dari satu tempat pendaratan ikan ke tempat pendaratan ikan
lainnya. Nyaris semua pantai sepi di pesisir selatan Pulau Jawa ia
telusuri, mengenal dari dekat para nelayannya, sambil memesan lobster.
Tentu, Susi siap membelinya dengan harga yang bagus, dengan catatan:
lobster itu harus utuh anggota tubuhnya.
Lobster-lobster itu juga mesti ditangkap secara alamiah, tidak
menggunakan cara yang merusak lingkungan, misalnya dengan membongkar
karang atau menggunakan pestisida. “Saya tidak menerima lobster yang
sedang bertelur,” lanjutnya. Kalau tak sengaja mendapatkan lobster yang
sedang masa bertelur, ia meminta segera cepat dikembalikan ke laut,
betapapun besarnya (yang secara ekonomi membuatnya rugi).
Lobster-lobster yang didapatnya itu, kian menapakkan dirinya sebagai
pemasok hasil laut jempolan.
Sukses itu tak membuat Susi diam di tempat. Diversifikasi usaha terus
dilakukan. Ia, misalnya, tak pernah melupakan Pangandaran sebagai
kawasan wisata yang potensial untuk berbisnis. Untuk itu, tahun 1989
Susi membuka restoran Hilmans di dekat pantai, dengan spesialisasi menu
ikan segar. Calon pembeli bisa memilih sendiri ikan segar yang
diminatinya, lalu para koki mengolahnya menjadi hidangan pilihan.
“Hidup kan terus bergerak. Puncak-puncak pencapaian harus terus
diciptakan tiap hari,” ungkap Susi. Entah, dari mana ia pungut teori
kehidupan itu. Tetapi, Susi memang kian jauh melangkah. Tak cuma
pedagang besar ataupun resto-resto di Jakarta yang menunggu pasokan ikan
darinya tiap malam, tetapi juga pabrik-pabrik pengolahan ikan untuk
ekspor. Konon, untuk lobster, Susi disebut-sebut sebagai pemasok utama
yang menguasai 70% market share di Jakarta.
“Saya amat suka belajar langsung di lapangan,” katanya. Dari
pabrik-pabrik ikan itu, ia jadi belajar mengenal lebih dekat bisnis
hasil laut. Makin kenal banyak orang, makin banyak ilmu yang ia timba.
Sampai suatu saat ia punya pemikiran sendiri. “Saya harus bisa
mengekspor sendiri ikan-ikan yang saya peroleh dari nelayan Indonesia.
Untuk itu, saya mesti punya pabrik pengolahan sendiri!” kenang Susi,
kembali bermimpi.
Kali ini, Susi tak harus berlama-lama mimpi. Tahun 1996, ia mulai
merintis pendirian pabrik pengolahan ikan sendiri, di pekarangan samping
rumahnya yang berada di depan terminal bus Pangandaran. Hasilnya
menakjubkan! Tahun itu Susi mencatatkan diri sebagai bakul ikan
Indonesia yang berhasil mengekspor lobster beku ke Jepang dengan label
Susi Brand.
Ratusan tenaga kerja lokal diserap pabriknya untuk menyiangi ikan.
Limbah yang berupa tulang dan isi perut ikan dipisahkan, dicacah atau
digiling, untuk pakan itik di kebunnya, sementara bagian dagingnya
dibuat filet atau produk ikutannya (seperti bakso, dan lainnya). Cuma
dalam tempo setahun setelah ia mengekspor lobster beku, ragam jenis
seafood beku dari pabrik Pangandaran itu diekspor ke Jepang dengan label
Susi Brand. Seperti yang Kami saksikan di pasar ikan Tsukiji, Tokyo.
Menembus pasar Jepang memang sebuah prestasi. Karena, Jepang merupakan
pangsa pasar ikan segar terbesar di Asia, yang menerapkan aturan ketat
untuk produk yang masuk ke negaranya. “Pengolahan ikan di pabrik saya
dikerjakan sesuai standar internasional, termasuk tidak memakai bahan
pengawet kimia,” tutur Susi. Selain itu, dia bisa menyediakan ikan segar
yang ‘usianya’ kurang dari 24 jam dari penangkapan.
KENDALIKAN BISNIS DARI
RUMAH
Hajjah Suwuh Lasminah dan Haji Ahmad Karlan (yang wafat pada tahun 2007)
tak pernah mimpi muluk seperti Susi, putri sulungnya. Sewaktu sang
putri memilih menjadi pedagang asongan bed cover, lalu wira-wiri mencari
dan memasok ikan, orang tuanya menganggapnya sebagai hal biasa. “Kalau
ia berhasil, Gusti Allah meridhai jerih payahnya. Saya, sebagai orang
tua, ikut bersyukur. Susi juga harus bersyukur, dengan tetep eling lan
waspada,” ucap Bu Suwuh.
Di waktu senggangnya di Pangandaran, Susi sering tampak duduk
berlama-lama di dekat ibunya, walau keduanya tak terlihat ngobrol. Susi
amat bersyukur memiliki ibu, yang bukan sekadar orang yang
melahirkannya, tetapi juga tempat ia bisa mendapatkan masukan berarti,’
Eling atau ingat akan siapa dirinya, dari mana berasal, dan hendak ke
mana berjalan. Waspada selalu akan banyak hal sepanjang hidup dilakoni.
Meski sudah sukses, Susi tetap eling pada kampung kelahirannya. “Kita
harus bisa memberi arti dan nilai tambah bagi banyak orang di sini.”
Meski sudah menjadi pengusaha kelas internasional, ia tetap menjadikan
Pangandaran sebagai homebase semua bisnisnya. Sekadar head office, ia
tempatkan di Jakarta. Tetapi, brand office PT ASI Pudjiastuti, yang
membawahi beberapa perusahaan, tetap ia tempatkan di rumahnya sendiri di
Pangandaran.
Di rumahnya yang nyaman itu, Susi juga biasa menghabiskan weekend-nya.
Untuk liburan setelah lima hari kerja keras? Idealnya begitu. Tetapi,
kenyataannya, Susi tak pernah bisa leyeh-leyeh, walau di halaman
rumahnya sendiri. Tiap kali ‘mudik’ mingguan, jauh sebelum ia tiba,
sudah banyak tamu (dari berbagai kalangan) yang menunggunya di kantin,
yang juga berfungsi sebagai ruang tunggu tamu.
“Tak apa, karena semua tamu itu teman dan saudara saya,” ucap Susi,
menanggapi para tamu yang tak henti-henti menunggunya. Sampai jauh
malam, biasanya Susi melayani tamunya satu per satu, ataupun secara
berkelompok. Yang juga mesti ia tanggapi adalah para pimpinan unit kerja
perusahaannya di Pangandaran, yang ingin memberi laporan mingguan.
Akibatnya, baru lepas tengah malam Susi bisa menikmati sentuhan tangan
pria pemijat langganannya sejak lebih dari 20 tahun silam, sebelum
kemudian meneguk wine dan… tidur.
Menurut Susi, aktivitas hari-harinya sudah cukup menguras keringat untuk
mempertahankan tubuh langsingnya. “Saya suka jalan kaki,” ucap
menggemar air putih saat bangun tidur dan wine saat hendak tidur ini.
Minggu pagi, ketika penulis bertamu ke rumahnya misalnya, ia belum mandi
ketika turun dari kamarnya. Bercelana pendek, seperti membiarkan
betisnya yang bertato gambar lidah api menjulur-julur itu terlihat,
sambil menikmati kue serabi favoritnya, ia memulai hari liburnya dengan
jalan kaki berkeliling halaman rumahnya.
Sejujurnya, aktivitas itu bukan untuk relaks. Karena, tiap Minggu pagi,
ia ‘sidak’ ke unit-unik kerja yang ada di halaman rumahnya. Meninjau
dapur dan kantin, membaca jadwal kerja harian para pekerja di halaman
rumahnya, atau menengok bengkel pembuatan perahu, dan terakhir masuk
pabrik. Ya, pabrik pengolahan ikan miliknya itu memang dibangun Susi di
pekarangan rumahnya.
JODOH KETIGA
Sukses di satu bidang, Susi merasa gagal di bidang lain. “Kehidupan
pribadi saya tidak sehat untuk diomongin, apalagi didengar orang lain,”
ungkapnya. Salah satunya adalah kebiasaannya merokok yang ia sadari
sangat tidak sehat.
Dalam hal asmara, Susi tak ragu bercerita bahwa ia telah menikah
sebanyak tiga kali. “Dari tiap suami, saya masing-masing mendapat
seorang anak,” katanya. Susi tak menyebut siapa pria pertama dan kedua
dalam hidupnya. Yang pasti, cinta pertamanya, dengan teman yang
disebutnya sebagai ‘sekampung’ itu, datang amat cepat, saat ia masih
gadis ting-ting berusia 20-an tahun.
Pernikahan dengan teman sepermainannya pada tahun 1983 itu tak bertahan
lama. Perkawinan itu memberinya Panji Hilmansyah, putra sulung, yang
kini telah menikah. Panji yang baru saja pulang dari Amerika Serikat
untuk mendalami flight engineering dan telah memberinya seorang cucu
laki-laki berusia 5 tahun, Arman Hilmansyah. Sang cucu ini selalu
menggelendoti Susi ke mana pun ia pergi dan menyapanya dengan panggilan
Uti (penggalan dari kata Mbah Puteri).
Jodoh kedua Susi adalah pria asal Swiss. Lagi-lagi Susi tak hendak
bercerita, siapa dia. Yang pasti, “Pernikahan itu juga tak berlangsung
lama,” kata Susi, tertawa. Dari pernikahan itu, Susi dianugerahi Nadine
Pascale, gadis remaja yang kini tengah belajar bahasa di Swiss.
Sekitar sebelas tahun silam, di suatu sore menjelang malam, Susi ketemu
Christian von Strowberg di Pangandaran. Persisnya di restoran seafood
miliknya. “Waktu itu saya datang sebagai turis, dalam rangka liburan
Sabtu-Minggu,” kenang Christian, yang asal Jerman dan amat fasih
berbahasa Indonesia. Maklum, saat itu ia sudah cukup lama tinggal di
Bandung. Di kota itu, ia yang seorang engineer dan pilot, bekerja di
Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).
Entah mengapa, keduanya langsung nyambung. Mereka ngobrol apa saja, dari
soal batik (Christian jatuh cinta berat pada kain batik, hampir tiap
hari ia mengenakan kemeja berbahan kain batik), soal kerjanya di IPTN,
hingga soal ikan. Christian pun jatuh cinta. “Susi itu smart,
pikiran-pikirannya dalam bisnis jauh ke depan. Saya suka, plus karena
sexy and exotic,” ungkap Christian, sambil menyungging senyum. Takut
kehilangan momen penting, minggu itu juga ia melamar Susi. Ternyata, ia
tak bertepuk sebelah tangan. Selang sebulan kemudian, mereka pun menikah
di Pangandaran.
Susi berharap Christian adalah jodoh terakhir yang dikirim Tuhan
untuknya. “Ini adalah pernikahan saya paling lama, sudah lebih sepuluh
tahun. Moga-moga Gusti Allah meridhai, yang ini bisa bertahan, ya…!”
ungkap Susi, dengan mata berbinar. Pernikahan yang membuahkan seorang
putra, Alvi Xavier (9), pelajar SD kelas 3 yang fasih berbahasa
Indonesia dan Inggris. Satu hal… Christian pula yang mewujudkan mimpi
kecil Susi akan montor mabur.
Awal Juni tahun silam, Susi terbang ke Paris. Bukan shopping parfum dan
busana couture di pusat mode dunia itu, tetapi ke Le Bourget untuk
ngeborong pesawat yang tengah dipajang di Paris Air Show itu. Tak
tanggung-tanggung, di ajang pameran kedirgantaraan tahunan paling
bergengsi di dunia itu, Susi memesan 30 pesawat! Tak heran bila otoritas
Paris Air Show merilis berita tertanggal 16 Juni 2009 sebagai berikut:
“Indonesia’s Susi Air Takes 30 Grand Caravan and an Avanti II” Susi Air
yang dimaksud adalah perusahaan penerbangan milik Susi Pudjiastuti, si
anak pantai Pangandaran itu.
BERPACU DENGAN WAKTU
Banyak pejabat tinggi perbankan nasional menjuluki Susi Pudjiastuti
sebagai ‘Si Gila dari Pangandaran’. “Julukan itu nempel hampir empat
tahun…,” kenang Susi. Ini semua terkait mimpinya punya montor mabur,
yang menurut Christian: “Why not?”
Support yang besar dari suaminya itu yang membuat Susi pada tahun 1999
menyusun proposal pinjaman dana ke bank. Berbagai bank, nasional ataupun
swasta asing, ia datangi. Tetapi, boro-boro dapat pinjaman, “Eh… saya
malah dianggap, nggak waras…!” ucap Susi, lagi-lagi sambil ngikik.
Susi sebenarnya bisa mengerti bila para petinggi bank menganggapnya
gila. “Lha cah wedhok (anak perempuan-Red), cuma lulusan SMP, kok, ya,
bisa-bisanya ngajuken kredit buat beli pesawat?” kenang Susi, tentang
rasa heran para bankir yang ditemuinya. Tambah melongo lagi mereka,
ketika membaca alasan Susi ingin membeli pesawat: untuk ngangkut ikan!
“Lha, apa nggak gila, itu,” imbuhnya.
Ilham punya pesawat terbang datang dari dari obrolannya dengan Christian
di awal perkenalan mereka tahun 1997. Saat itu, sebagai pengusaha
produk hasil laut, Susi sudah menembus Asia, Jepang khususnya, dan mulai
menjajaki pasar Eropa dan USA.
Susi menyadari satu hal yang paling penting dalam bisnis ini. “Tingkat
kesegaran ikan amat penting dalam bisnis marine product. Makin segar
ikan diterima pembeli, makin mahal harganya.” Masalahnya, “My paradise,
Indonesia, amat luas. Produk bagus tak cuma dari pantai-pantai di
selatan Jawa, tetapi juga harus saya ambil dari Aceh hingga Papua.
Membawa tangkapan segar dari Nairobi ataupun Simeuleu ke Pangandaran
saja, sudah problem. Bagaimana bisa tetap segar saat tiba di Jepang,
Eropa atau Amerika?”
Susi harus berpacu dengan waktu. Tak mungkin cuma mengandalkan truk
berpendingin, untuk pengepulan sekalipun. Sementara di luar sana, “Orang
akan memberi harga lebih tinggi untuk ikan segar yang sampai ke tangan
mereka, kurang dari sehari setelah ikan-ikan itu diangkat dari jaring
nelayan,” tegas Susi. Bila waktu tempuh bisa diatasi, ini tak cuma baik
bagi Susi, “Tapi juga baik bagi nelayan, karena saya bisa membeli
ikan-ikan itu dengan harga lebih bagus.”
Keharusan berpacu dengan waktu inilah yang membuat Susi merasa harus
punya pesawat. “Pesawat ringan, kecil saja, karena di pelosok-pelosok
Indonesia tak ada runaway panjang. Yang ada cuma airstrip pendek,”
katanya. Tapi, ya, itu tadi, Susi malah dianggap gila! Baru setelah 4
tahun bolak-balik mengajukan proposal, ada pengusaha nasional (Susi tak
mau menyebut nama) yang memahami ide gilanya, dan mengucurkan dana.
Didukung Christian yang paham seluk-beluk kedirgantaraan, mimpi montor
mabur-nya terwujud berupa sebuah Cessna Caravan buatan USA, seharga Rp20
miliar.
SUSI, WHERE ARE YOU...?
Sebagaimana mimpinya, Cessna berkapasitas 12 seats itu ia gunakan untuk
ngangkut ikan dan lobster tangkapan nelayan di berbagai pantai
Indonesia. Di Pangandaran, marine product itu dipilah, disiangi, dikemas
rapi, dan diterbangkan ke pasar Jakarta dan lainnya. Christian duduk di
kursi pilot, “Saya di sebelahnya sebagai… stewardess,” kenang Susi, di
minggu-minggu pertama punya montor mabur.
Tanggal 26 Desember 2004, gempa tektonik mengguncang perairan di ujung
barat laut Sumatra, menimbulkan gelombang tsunami dahsyat. Bantuan
kemanusiaan mengalir dari berbagai penjuru dunia. Tapi, bantuan udara
menumpuk di Bandara Iskandar Muda, Banda Aceh. Puing-puing kerusakan
menghambat arus bantuan. Banyak kawasan terisolasi. Kotak obat, makanan,
bahkan para relawan SAR pun sulit menembus lokasi.
Saat itu, cuma sekitar 2 hari setelah tsunami, terbetik berita: ”Mbak
Susi dari Pangandaran berhasil mendarat di Meulaboh,” lapor seorang
relawan lewat komunikasi radio dari sebuah posko bencana.
Belakangan diketahui, yang dimaksud adalah Susi Pudjiastuti yang dengan
suaminya berhasil mendaratkan Cessna-nya, membawa bantuan obat-obatan
dan makanan. “Sumbangan titipan dari banyak teman,” ungkap Susi. Sejak
itu namanya identik dengan kiriman bantuan ‘pertama’ di berbagai daerah
yang terkena gempa.
Ada cerita lucu yang selalu dikenang Susi. Suatu siang di Bandara
Iskandar Muda, Susi sedang istirahat sejenak setelah kembali mengirim
bantuan ke sebuah tempat di Nanggroe Aceh Darussalam itu. Ketika itu, ia
melihat seorang pria relawan dari Eropa wara-wiri di apron bandara,
celingukan memandangi runway, seraya berkali-kali berucap, “Susi…! Susi,
where are you…?”
Merasa namanya disebut-sebut, Susi datang menghampiri si pria sambil
bilang, “Anda mencari Susi? Saya ini, Susi…!” katanya.
Tetapi, si pria geleng-geleng kepala seraya berucap, “Maaf, bukan. Bukan
kamu. Saya mencari Susi… Susi Air. Di mana perwakilan kantornya di
sini?”
Susi ngikik. “Tidak ada Susi Air, Sir…! Apalagi kantornya...! Yang ada
cuma Susi, ya, saya ini…!”
Si pria terperangah, terlebih saat menyebut bahwa dirinya punya sebuah
Cessna. Ia lalu tertawa. “Oke, oke…! Kamu, Susi… punya Cessna? Good…!
Bisa bantu drop logistik kami, bantuan ke…?”
“Boleh saja, nanti… setelah pesawat saya itu balik lagi ke bandara ini.
Tetapi, Anda harus ganti minyaknya, ya….”
“Ya, ya… tentu…! Kami bayar, kami sewa!”
Susi tak mengungkap lebih jauh, berapa banyak uang sewa yang ia terima
saat itu. Yang pasti, inilah asal-mulanya ia menjadikan pesawatnya
sebagai pesawat sewaan. Dari satu orang, berita menyebar ke mana-mana.
Secara getok-tular pesawat Cessna-nya kerap disewa pihak-pihak
internasional yang membantu pemulihan NAD.
Istilah Susi Air pun lahir dari para penyewa awal itu. “Tadinya, ingin
diberi brand yang keren, nama-nama burung yang gagah, gitu…! Tapi,
karena orang-orang itu selalu mencari Susi… Air… ya, sudah, saya kasih
saja nama Susi Air,” kenang Susi, tertawa lepas.
PULANG KAMPUNG BAWA HELI
Kerepotan saat mudik adalah hal biasa di Indonesia. Tetapi, tak demikian
dengan Susi Pudjiastuti. Awal Desember silam misalnya, ia mudik bersama
anggota rombongan yang lumayan banyak. Selain Christian, tampak si
bungsu Alvi dan Arman sang cucu. Ikut pula Santi, menantu Susi yang
sekaligus ibu Arman.
“Mudik nang Pangandaran. Leyeh-leyeh sembari ngempani bebek atawa iwak
di kolam. Rak iya to, Bu…?” ucap Susi, sembari menggamit ibunya, Hajjah
Suwuh Lasminah. “Pegawean nang Jakarta ora ono habis-habise, omah nang
kampung juga perlu diopeni,” lanjut Susi, berbahasa Jawa, yang
maksudnya… “Mudik ke Pangandaran untuk relaks sambil memberi makan bebek
dan ikan di kolam. Soalnya, namanya pekerjaan di Jakarta takkan ada
habisnya. Rumah di kampung juga perlu diperhatikan….”
Walau lahir dan besar di Pangandaran, Jawa Barat, yang berbasis budaya
Sunda, dalam keseharian Susi terbiasa berbahasa Indonesia campur bahasa
Jawa dengan kerabat dekatnya. Namun, dengan tetangga dan staf lokalnya,
Susi berbahasa Sunda. Sementara kepada relasi bisnisnya, ia berbahasa
Inggris. Bahkan, saat ngobrol dengan suaminya, kerap melompat
kalimat-kalimat bahasa Jerman dari lengkung tipis bibirnya yang biasa
tersalut lipstik warna gelap.
Ternyata, tak cuma anggota keluarga, Susi juga memboyong tiga orang
suster (pendamping sang ibu, anak, dan cucunya), Gunanjar yang corporate
secretary sekaligus asisten pribadinya, dua orang staf head-office-nya
di Jakarta, plus tiga orang pemuda-pemudi Eropa yang menurut Susi datang
untuk belajar di rumahnya.
Untuk urusan transportasi, Susi nggak perlu repot. Di apron Halim
Perdana Kusuma, selalu terparkir beberapa pesawat miliknya, siap
take-off mengangkut ‘rombongannya’ menempuh jarak sekitar 325 km, dalam
tempo satu jam. “Dulu, dengan bus atau pick-up bak terbuka, saya rutin
menempuhnya tiap hari, minimal sembilan jam baru sampai,” kenang Susi,
dengan mata menerawang jauh.
Dua belas anggota rombongannya masuk ke pesawat fixed-wing Cessna
Caravan, dengan sepasang pilot dan co-pilot. Sementara Susi masuk ke
kabin helikopter Grand Agusta buatan Italia, satu dari dua heli yang ia
pesan di Paris Air Show 2009, bersamaan pemesanan 30 buah Cessna Caravan
dan sebuah Avanti II. “Baru seminggu tiba di Jakarta,” ungkap Susi,
tentang pesawat rotor pertama yang dimilikinya itu. Untuk pertama
kalinya pula heli yang akan dioperasikan sebagai VIP charter flight
(3.500 dolar AS/jam) ini diajak mudik, setelah sepanjang 5 hari
sebelumnya dicoba mendarat di helipad di puncak-puncak gedung tinggi di
Jakarta.
“Ini heli tercepat di kelasnya. Harganya 7 juta dolar AS,” bisik Susi,
seolah tak ingin suaranya didengar orang lain. Padahal, di kabin mewah
berkapasitas 5 seats itu cuma diisi empat penumpang, yakni Susi dan anak
bungsu serta cucunya, plus Kami. Sementara di cockpit, duduk
Christian sebagai pilot, didampingi seorang ahli mesin yang dikirim
langsung oleh pabriknya di Italia.
Udara cerah mengambang selepas keluar dari ‘sabuk’ asap yang menyelimuti
Jakarta. Meninggalkan jalan tol Jagorawi, Rancamaya, merayapi
hutan-gunung Gede-Pangrango. “Gusti Allah amat baik, sudah mewujudkan
mimpi kecil saya, melayang tinggi di pucuk-pucuk kelapa, melihat
pucuk-pucuk gunung dan sawah seperti burung terbang. Saya bersyukur…,”
katanya, lirih, sembari pandangannya melompat ke luar jendela.
Terbang di ketinggian sekitar 350 meter dari permukaan tanah, Susi
selalu menikmati tamasya udaranya. “Seperti mimpi rasanya,” gumamnya,
mengenang masa kecilnya, teriak-teriak ‘minta duit’ tiap kali ada kapal
terbang lewat. Sekarang, ia berada di pesawat impiannya itu, melongok ke
bawah seolah mencari-cari kalau-kalau ada sosok Susi kecil di bawah
sana.
SEKOLAH PILOT DI
RUMAHNYA
Susi sungguh pribadi yang penuh kontradiktif. Ia bermetamorfosis dari
gadis kampung, menjadi warga dunia dan sukses sebagai wanita pengusaha
bidang perikanan dan jasa penerbangan. Berbagai penghargaan ia terima.
Mulai dari Pelopor Wisata dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa
Barat, Young Entrepreneur of the Year dari Ernst and Young Indonesia,
serta Primaniyarta Award for Best Small & Medium Enterprise Exporter
dari Presiden Republik Indonesia. Tahun 2006, ia menerima Metro TV
Award for Economics, Inspiring Woman Award for Economics.
Susi yang cuma lulusan SMP, kini Presiden Direktur PT ASI Pudjiastuti
Marine Product dan Presiden Diretur PT ASI Pudjiastuti Aviation yang
mengoperasikan Susi Air. Di luar itu, aktivis lingkungan independen ini
juga dipercaya sebagai Board of Directors HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh
Indonesia) bidang hubungan dalam negeri; serta Ketua Komisi
Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah pada KADIN. Kini ia juga dipercaya
sebagai dosen tamu pada program pendidikan di lingkungan BRI dan
Telkom, bahkan juga dipercaya menjadi dosen tamu di ITB, IPB, dan UGM.
Tentang 3 anak muda Eropa yang ikut pulang kampung bersamanya, dan
diakui Susi sebagai hendak belajar di rumahnya itu, ternyata adalah
pilot-pilot muda lulusan sekolah penerbang di Norwegia, Prancis, dan
Jerman. Mereka datang ke Indonesia atas biaya sendiri, untuk belajar
terbang lanjutan di rumah Susi. Lho, Susi punya sekolah penerbang?
Persis! Namanya Susi Flying School, dibangun tahun 2008, di bawah
manajemen PT ASI Pudjiastuti Flying School dengan Susi sebagai direktur
utamanya.
Sejujurnya, Susi bilang bahwa pilot-pilot di perusahaannya, berjumlah
nyaris mencapai seratus orang, umumnya memang pilot asing dari Amerika
Serikat, negara-negara Eropa, dan beberapa dari Filipina. “Mencakup
lebih dari 90% pilot yang bekerja pada kami,” ucapnya, sambil menghela
napas panjang. Susi memang tak sedang berbangga diri bahwa sebagai anak
negeri, wanita pribumi, ia berhasil mempekerjakan pilot-pilot muda
asing. “Tidak! Saya tidak bangga! Saya justru merasa sedih…,” lanjutnya,
sambil lagi-lagi ia menghela napas panjang.
Susi juga bukan tidak nasionalis dengan mempekerjakan pilot-pilot asing
di nyaris semua pesawat miliknya. Awalnya, ia juga mimpi,
pesawat-pesawatnya terbang melintasi khatulistiwa dan singgah di
berbagai pelosok Nusantara, dengan pilot-pilot sebangsa dan sewarna
kulit dengannya. Tetapi, mimpi itu tinggal sekadar mimpi. “Untuk
mendapatkan pilot nyatanya tak semudah kita membalikkan tangan,”
katanya.
Indonesia, menurut Susi, amat kekurangan pilot. Dari kebutuhan sekitar
seratus pilot tiap tahunnya, cuma sebagian kecil saja yang diisi oleh
pilot-pilot lulusan sekolah penerbang di Indonesia. Sebagian besar
lebihnya merupakan pangsa kerja serapan pilot-pilot asing.
Sedemikian besarnya peluang kerja ini, sampai-sampai saat masih di
bangku sekolah pun terkadang banyak calon pilot Indonesia yang diijon
kerja di berbagai perusahaan jasa penerbangan yang ada. Satu hal lain,
pesawat-pesawat yang dimiliki Susi adalah pesawat-pesawat ringan,
pesawat ‘mini’, dengan rute penerbangan yang tak populer di berbagai
pelosok Indonsia. “Pilot-pilot kita, apalagi yang senior, mana mau
terbang mengawaki pesawat kecil, apalagi ke pelosok-pelosok terpencil
yang sepi dan susah dijangkau. Pastilah pesawat-pesawat jet berbadan
besar, dengan perusahaan-perusahaan besar dan terkenal, lebih
mendatangkan prestise untuk dijajal sebagai lahan kerja,” katanya,
setengah bergurau.
Karena itu, untuk memenuhi kebutuhan pilot (dan ahli mesin) di
perusahaannya, Susi bergerilya menyebar iklan ke situs-situs internet
ataupun datang langsung ke sekolah-sekolah penerbangan sipil di berbagai
negeri, khususnya Amerika dan Eropa. Untuk menindaklanjuti minat
menjadi pilot Susi Air itu pula, ia lantas membangun Susi Flying School
dengan berbagai program dasar dan lanjutan. Beberapa ruang kelas ber-AC
dibangunnya di halaman rumahnya yang luas, lengkap dengan mock-up dan
ragam compu-system dan alat avionik lainnya. Untuk uji terbang, silakan
ke airstrip pribadinya di Pantai Pangandaran.
“Bagi pilot-pilot muda asing, menerbangkan pesawat-pesawat Susi Air
bukan sekadar untuk menambah jam terbang yang memang amat dibutuhkan.
Lebih dari itu, alam dan budaya Indonesia merupakan titik penting dari
minat kerja mereka. Bayangkan! Mereka bisa melihat dan mendekat langsung
ke spot-spot alam Indonesia, bersinggungan langsung dengan aktivitas
masyarakat di berbagai pelosok negeri, dan untuk semua pengalaman
berharga itu, mereka mendapat bayaran yang pantas sebagai pilot,” kata
Susi. Tak heran bila banyak pilot Susi Air yang amat kerasan bekerja.
Bahkan, saat-saat cuti pun, bukannya mudik ke negerinya, eh… mereka
malah pergi ke tempat-tempat eksotis di berbagai pelosok Indonesia.
MENGALIR SEPERTI AIR
Susi bisa saja mengaku bahwa kehidupan spiritualnya masih kurang
sempurna. Namun, seorang ajengan, pimpinan agama Islam di sebuah wilayah
di Jawa Barat, mengatakan, Susi gemar membantu pembangunan masjid.
Salah satu masjid yang dibangun Susi adalah Masjid Istiqomah, masjid
besar dan cantik dengan halaman yang lumayan luas, tegak di sebuah
persimpangan jalan utama di Kota Pangandaran. “Ini dibangun Ibu Susi
tahun 2007 awal, saat-saat ia aktif membantu membangun kembali kawasan
Nanggroe Aceh Darussalam pascatsunami 26 Desember 2004,” ungkap seorang
warga yang Kami temui di pinggir jalan.
Untuk keperluan pembangunan tempat ibadah ataupun aktivitas keagamaan
dan sosial, Susi dikenal ringan tangan. “Gampang dimintai tolong,”
ungkap Ramadi, nelayan Pangandaran. Pascatsunami yang menghantam
Pangandaran tahun 2007, rumah Ramadi luluh lantak, dan bisa terbangun
lagi antara lain berkat bantuan Susi. Kini Ramadi mewakili beberapa
rekannya untuk bisa mendapatkan bantuan kredit murah kepemilikan
longboat (sampan panjang) dari bahan fiberglass untuk nelayan setempat,
yang diusahakan Susi sejak beberapa tahun terakhir ini.
“Apa yang mereka berikan pada saya, kebaikan, persaudaraan, jauh lebih
banyak…,” ungkap Susi. Senin pagi itu, ketika kembali bertemu Kami, ia
sudah rapi. Biasanya ia masih sempat olahraga, jalan-jalan keliling
halaman sembari ‘sidak’ ke pabrik, dapur, ataupun ruang-ruang lain di
rumahnya itu. Tetapi, kali ini tidak. “Alvi harus masuk sekolah, pukul
delapan,” katanya, sembari menyuapkan potongan serabi di tangannya.
Selain itu, ia juga ada janji dengan sekelompok relasi bisnisnya. Untuk
itu, di pagi yang masih berkabut itu, ia sudah harus keluar rumah.
Berjalan sedikit ke airstrip yang dibangunnya di pinggir pantai. Di situ
sudah menunggu sebuah Cessna, yang segera menerbangkannya ke Bandara
Halim Perdanakusuma. Belum sampai pukul delapan, ia mengantar si bungsu
Alvi ke sekolahnya di Bintaro, Tangerang Selatan, Banten. Dan, beberapa
menit kemudian ia sudah sibuk menerima telepon branch office-nya, tak
jauh dari situ. Mengenai hidupnya yang selalu sibuk, dengan sederhana
Susi bilang, “Mengalir saja seperti air….”