Dahlan Iskan: Susi Tetap Dihati
Selasa, 13 September 2011 10:19 WIB | 9.177 Views
Jatuhhnya pesawat Susi Air membuat ramai media dan banyak orang bicara, salahsatunya adalah Dirut PLN, Dahlan Iskan. Dikutip dari Jaringan Berita milik Jawa Pos (JPNN), berikut Pemaparan Dahlan Iskan tentang Susi Pujihastuti, Juragan Pesawat dari Pangandaran
SAYA bisa membayangkan dengan
baik sulitnya mengevakuasi pesawat Susi Air yang jatuh di pedalaman
Papua Jumat lalu. Lokasi itu begitu terjal, penuh gunung, dan lembah
yang curam. Tidak jauh dari lembah terjal yang dengan susah payah saya
kunjungi bulan lalu. Yakni, ketika saya dan rombongan PLN harus berjalan
kaki 15 km dari Wamena ke wilayah atas Kabupaten Yahukimo, mencari
lokasi ideal untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
Ketika berada di lokasi itu saya sering mendongak karena ada pesawat
yang lewat. Rupanya di atas lokasi itu merupakan jalur penerbangan yang
baik untuk keluar dari lembah Wamena. Lokasi ini berada di sela-sela
gunung. Memang, setiap pesawat yang hendak keluar atau masuk Wamena
harus mencari celah-celah di antara gunung-gunung tinggi di sekeliling
Wamena.
Di kawasan itu kita bisa terkaget-kaget ketika pesawat keluar dari awan
tiba-tiba ada tebing gunung tinggi di sebelah jendela. Itu saya alami
sendiri ketika hendak mendarat di Wamena bulan lalu. Pesawat masih
berada di dalam kegelapan awan ketika pilot mengumumkan kita segera
mendarat. Saya pikir mau mendarat di mana? Wong tidak kelihatan apa-apa
begini. Eh, tidak lama kemudian pesawat keluar dari awan dan seperti
tiba-tiba berada di samping tebing puncak gunung yang terjal. Rasanya
ngeri-ngeri asyik.
Yang membuat hati saya tetap tenang adalah ini; pesawat ini, Susi Air,
dalam sejarahnya belum pernah mengalami kecelakaan. Pemiliknya, Susi
yang saya kenal baik, selalu membanggakan itu. Pesawat ini sejenis
dengan yang jatuh itu (atau jangan-jangan memang itu?) adalah pesawat
yang masih relatif baru. Baru berumur empat tahun. Toh, saya sering naik
pesawat yang umurnya sudah lebih 30 tahun. Seperti Boeing 737-200 atau
MD80 itu.
Yang juga membuat saya tenang, Susi Air menempatkan banyak pesawat jenis
ini di Papua, yang berarti perhatian terhadap perawatannya sangat baik.
Bahkan, Susi Air adalah pemilik terbanyak kedua di dunia untuk pesawat
jenis Caravan ini, setelah FedEx AS. Yang juga menambah ketenangan saya
adalah (Ini sikap yang saya sadari kurang baik, dan kelihatan lebih
kurang baik setelah terjadinya kecelakaan itu) pilot-pilotnya orang
bule.
Susi Air memang punya kebijakan hanya mempekerjakan pilot asing untuk 38
pesawatnya. Pilot-pilot Susi Air, ujar Susi kepada saya suatu saat, mau
mengerjakan semua hal yang terkait dengan pesawatnya: mengangkat
bagasi, menutup pintu, mencuci pesawat, dan menjadi pramugarinya
sekalian. Ini sama dengan sikap Susi sendiri yang senang mengerjakan apa
saja. Meski seorang bos besar, dia biasa melakukan pekerjaan yang
remeh-temeh.
Pernah saya terbang dengan Susi Air dari Dobo di Maluku Tenggara. Di
situlah saya pertama kenal dengan dia. Semula saya pikir dia karyawan
biasa. Dia bertindak seperti petugas ground dan ketika ikut terbang di
psesawat itu dia yang melayani penumpang. Saya kagum ketika akhirnya
tahu dialah bos besar Susi Air. Orangnya cekatan, cerdas, antusias,
bicaranya blak-blakan, suaranya besar, agak parau, dan sangat tomboi.
Susi sangat bangga menjadi wanita Sunda yang lahir dan besar di
Pangandaran, pantai selatan Jabar, yang bisa menjadi bos dari begitu
banyak orang asing. Dia juga begitu bangga bisa mengabdi untuk republik
dengan pesawat-pesawatnya. Baik sebagai jembatan daerah terisolasi
maupun saat menjadi relawan waktu tsunami. Dia juga begitu bangga dengan
desa kelahirannya, sehingga kantor pusat Susi Air dia pertahankan tetap
di Desa Pangandaran yang jauh dari Jakarta. Termasuk di desa itu pula
pusat pelatihan pilot dan peralatan simulasinya yang canggih.
Dari Pantai Pangandaran memang Susi jadi orang. Yakni, ketika awalnya
dia mulai mencoba menampung udang hasil tangkapan nelayan di desanya
yang kualitasnya begitu tinggi. Lalu dia kirim ke Jakarta. Lalu dia
ekspor. Lalu dia mengalami kesulitan karena tak ada sarana yang bisa
mengangkut udang Pangandaran dengan cepat dan dalam keadaan masih hidup
sudah tiba di Jakarta atau Singapura. Lalu, demi udang nelayan
Pangandaran itu dia sewa pesawat. Lalu beli pesawat. Lalu beli lagi dan
beli lagi hingga mencapai 38 buah. Lalu bikin perusahaan penerbangan.
Saya begitu sering menggunakan jasa Susi Air. Banyak rute yang
penerbangan lain tidak mau, dia terbangi. Misalnya, Jakarta-Cilacap.
Atau Medan-Meulaboh. Atau antarkota kecil di Papua. Sebagai orang yang
kini harus memikirkan listrik sampai ke seluruh pelosok negeri yang
terpencil, saya ikut berterima kasih kepada Susi.
Saya agak heran mengapa kecelakaan itu terjadi. Selama ini saya sangat
yakin dengan peralatan modern di Caravan yang berisi 14 orang itu. Layar
radarnya yang cukup lebar bisa memberikan banyak indikasi cuaca. Saya
sering duduk di barisan paling dekat pilot sehingga sering bertanya
makna tanda-tanda yang muncul di layar. Ketika di depan sana ada awan
tebal, layar itu bisa menggambarkan mana awan yang berisiko dan yang
tidak. Mana awan tipis dan tebal. Gunung juga terbaca di situ.
Saya menduga kecelakaan itu karena pilot tidak berhasil mengangkat atau
menaikkan pesawat setinggi yang dibutuhkan untuk melompati sebuah puncak
gunung di situ. Misalnya, karena empat drum solar seberat 1,1 ton itu
terlalu berat.
Saya pernah naik Caravan Susi Air dari Nabire ke Timika di Papua yang
juga mendebarkan. Dua kota itu dipisahkan oleh pegunungan yang salah
satu puncaknya setinggi 4.500 meter. Sebelum take off, saya mengira
pesawat akan menghindari ketinggian itu dengan cara sedikit memutar ke
atas Kaimana.
Ketika pesawat mengudara, saya terus memegang peta yang dalam posisi
membuka. Ketika saya rasakan pesawat terus meninggi, barulah saya tahu
bahwa sang pilot memilih meloncati saja puncak 4.500 meter itu. Wow!
Kata saya dalam hati. Pesawat begini kecil terbang 5.000 meter! Karena
kami semua memegang BlackBerry, kami menggunakannya juga untuk mengecek
ketinggian. Benar. 5.000 meter!
Saya juga sering dibantu pilot Susi Air. Ketika terbang dari Jakarta ke
Pangandaran, kami diberi bonus bisa terbang rendah dan memutar dua kali
di atas Pegunungan Kamojang. Dengan cara begitu saya bisa melihat dari
atas secara jelas pembangkit listrik geotermal di lereng Gunung Kamojang
dan lereng Gunung Salak.
Demikian juga ketika saya terbang dari Bintuni ke Nabire, pilotnya tidak
keberatan ketika saya minta mengarah dulu ke selatan karena saya ingin
melihat dari atas fasilitas LNG Tangguh di pantai Teluk Bintuni. Bahkan,
ketika ke Digul dan pesawat diperkirakan tidak bisa mendarat karena
landasan jelek, pilot dengan sabar berusaha keras mendarat. Caranya,
beberapa kali pilot menerbangkan Caravannya rendah sekali menyusuri
sebelah landasan Digul. Yakni, untuk melihat dengan mata telanjang
apakah landasan itu aman didarati. Akhirnya Susi Air mendarat di Digul
dengan mulusnya.
Tentu saya juga sering bergurau dengan pilot-pilot itu. Ketika Susi Air
mendarat di Merauke, saya menggoda pilot muda asal Australia itu.
"Apakah Anda ingin mampir pulang dulu?" tanya saya sambil menunjukkan jari ke arah Australia yang sudah begitu dekat.
Apa jawabnya? "Iya lho. Tinggal 150 mil lagi sudah Australia," jawabnya
lantas senyum. Mudah-mudahan bukan dia yang jatuh di Yahukimo Jumat lalu
itu. Saya masih begitu ingat senyum perpisahan hari itu. (c2/lk)
Anda mempunyai konten untuk ditayangkan di myPangandaran.com dan jaringannya seperti berita, opini, kolom, artikel, berita foto, video, release Perusahaan atau informasi tempat bisnis di Pangandaran.
Kirimkan tulisan anda melalui
Kontribusi dari Anda
Berikan Komentar Via Facebook