Saat itu saya baru kelas 3 MTs, peristiwa itu masih jelas benar di ingatan saya bagaimana warga Pangandaran dan sekitarnya membuat mencekam. Iring-iringan mayit yang diduga dukun santet sering terjadi siang maupun malam hari korban saat itu dicatat KONTRAS sebanyak 37 bahkan ada yang menyebutkan hingga 57 orang. Peristiwa itu membuat saya penasaran untuk mencoba mengorek informasi kembali yang pernah terpublish.
Pembunuhan demi pembunuhan terus terjadi. Setelah Tregedi Banyuwangi 1998, hal serupa kini terjadi di Pangandaran, Kabupaten Ciamis. Banyak kalangan mengatakan yang terjadi di Ciamis sebetulnya lebih tepat merupakan gabungan dari modus Pembantaian Banyuwangi dan Penembakan Misterius pada 1982. Keluarga para korban cenderung tutup mulut. Banyak di antara mereka masih ketakutan dengan ancaman pembunuh yang sepertinya dapat dukungan aparat birokrasi desa. Berikut ini adalah kiriman hasil investigasi sekelompok anak muda yang mencoba menguak tabir pembunuhan sadis yang baru belakangan dikuak pers.
Nama-nama pada laporan ini merupakan nama samaran, yang dimaksudkan untuk melindungi para saksi mata dari ancaman dan aksi balas dendam pelaku
pembunuhan dan juga kemungkinan aparat birokrasi dan keamanan yang di-indikasikan mendukung tindakan sadis tersebut:
Pada kasus pembantaian dukun santet di Banyuwangi, tindakan pembantaian biasanya dilakukan malam hari, dan (juga) menjadikan ulama setempat sebagai
sasarannya. Kasus pembantaian di Pangandaran sejauh ini tidak menyentuh ulama setempat. Yang dijadikan target adalah seseorang yang diindikasikan tukang santet dan
pelaku kriminal.
Kasus pertama, menurut penuturan sumber, terjadi sekitar Februari lalu (ada juga yang mengatakan sebelum itu), dan mencapai puncaknya pada malam Idul
Adha (Sabtu malam, 27 Maret 1999). Ketika itu, di Purbahayu saja jatuh korban sebanyak 4 orang dalam satu malam.Masyarakat sebenarnya tidak terlalu memasalahkan pembantaian dukun santet yang terjadi di sekitar mereka, namun mulai bereaksi setelah terjadi salah
sasaran, khususnya kejadian salah sasaran di Jati Sari, Pangandaran. Salah seorang penduduk Jati Sari bernama Yusuf (paruh baya), namanya
mirip dengan salah seorang tukang teluh (dukun santet) di tempat itu. Pada suatu hari Yusuf yang bukan dukun santet ini dijemput sekelompok massa yang tidak
dikenal, kemudian terjadilah prosesi pembantaian terhadap dirinya. Hal ini tentu saja membuat marah anggota keluarganya. Dari sinilah konon kasus
pembantaian dukun santet di Pangandaran merebak.
Kasus Toyip
Toyip adalah seorang bos maling motor (dan tukang tadah hasil curian lainya). Pada suatu hari salah seorang anak buah Toyip tertangkap basah
ketika sedang mencuri sepeda motor. Tak berapa lama, Toyip dicari oleh sekelompok orang yang tidak diketahui identitasnya. Akhirnya sekelompok orang ini berhasil menemukan Toyip yang
ketika itu sedang berada di rumah istri mudanya, di desa Cibenda sekitar 5 kilometer dari Cikemulan.
Toyip kemudian ditangkap, dinaikkan ke atas truk, ditelanjangi, disalib, dan diarak dari Cibenda hingga ke Citaman yang jaraknya sekitar 15 kilometer,
hanya ada satu jalan, dan harus melewati beberapa pos keamanan seperti Koramil Parigi, Polsek Parigi, Koramil Cijulang, dan Polsek Cijulang.
Arak-arakan yang riuh rendah itu ternyata tidak mengusik para aparat yang berada di keempat pos keamanan tadi.
Arak-arakan atau pawai yang membawa tubuh bugil Toyip tadi melibatkan massa anak sekolah, siang hari, berbarengan dengan jam pulang anak sekolah.
Kejadian yang menimpa Toyip memang bertepatan dengan saat anak-anak baru saja masuk sekolah setelah liburan Idul Adha 1419 H. Akhirnya Toyip mati mengenaskan di atas truk, dan dibuang ke sungai
Ciwayang, sekitar 25 kilometer dari Pangandaran.
Kasus Anwar
Penduduk desa Kedungharjo ini adalah seorang tabib, yang kemudian diduga menjalankan praktek dukun santet. Ketika Anwar sedang berada di Bandung, ada
sekelompok orang yang mencari-carinya dengan mengendarai sepeda motor tanpa plat nomor.
Ketika Anwar kembali dari Bandung, datanglah sekelompok orang yang tidak dikenal dengan berbagai senjata tajam di tangannya sambil mengajak
masyarakat setempat untuk menangkap Anwar.
Untungnya ketika itu aparat sudah mulai menyadari adanya kasus pembantaian dukun santet di Pangandaran ini, sehingga sejak awal Anwar dan keluarganya
sudah dijaga oleh petugas keamanan (pasukan dari Bandung), dan selamatlah ia dari upaya pembantaian. Kasus Anwar ini terjadi sekitar awal April 1999 lalu.
Modus
Pada umumnya pelaku pembantaian menggunakan tutup kepala dan muka, sehingga
hanya tampak matanya saja. Materi penutup kepala dan mata tersebut antara
lain berupa kain sarung atau kain batik yang biasa disebut samping.
Pembantaian biasanya dilakukan dalam sebuah prosesi yang melibatkan
masyarakat setempat, terutama anak sekolah yang baru saja bubaran sekolah.
Pelaku biasanya mengajak massa dengan ajakan seperti: "mau ikut nyate
nggak?" Ketika masyarakat bertanya apa yang akan disate, si pelaku menjawab:
"nyate dukun santet"
Masyarakat yang diajak serta melakukan prosesi pembantaian biasanya sulit
menolak, karena takut dituduh pro dukun santet, sehingga mereka cenderung
memenuhi ajakan pelaku pembantaian (yang bercadar itu).
Menurut sumber, sampai sejauh ini pelaku sebenarnya belum tertangkap.
Sedangkan Sentot, yang punya motif balas dendam karena salah satu anggota
keluarganya pernah dikerjai dukun santet, dianggap bukan sebagai pelaku
utama, hanya ikutan saja.
Ladang Coklat
Menurut sebuah sumber, sasaran pembantaian akhir-akhir ini juga meluas ke
orang-orang tertentu yang konon diduga sebagai orang yang anti Keluarga
Cendana. Barangkali ada benarnya, bila dikaitkan dengan kasus ladang coklat
yang
dimiliki Keluarga Cendana di daerah Pangandaran ini. Menurut sumber, di
Pangandaran ada perkebunan coklat yang membentang antara Pangandaran-Cikemulan,
seluas sekitar 150 hektar. Konon milik si mbak.
Sebelum era reformasi, rakyat yang ketahuan mengambil kayu di sekitar ladang
coklat itu, langsung ditangkap sebagaimana layaknya pelaku kriminal.
Pada era reformasi ini, kebun coklat itu ditebas-habis dengan menggunakan
gergaji mesin, dan kayunya dijual Rp 7.000,- per meter kubik. Kemudian tanah
ladang coklat itu diserahkan kepada masyarakat sekitar untuk digarap dengan
sistem bagi hasil, untuk ditanami ubi jalar, kacang tanah, dan sebagainya.
Yang jelas, bukan coklat.
Mengapa bukan coklat, yang bila dikurs dengan rupiah bisa menghasilkan 10
kali lipat dari hasil menjual ubi jalar dan kacang tanah?
Konon, nampaknya ada saja yang tidak ikhlas jika masyarakat setempat menjadi
makmur berkat coklat. Bahkan ada kecenderungan agar masyarakat setempat
dibiarkan tidak tahu nilai tinggi coklat tersebut.
Sikap seperti itu mirip kasus Lampung Barat (1995-1996). Ketika itu tanaman
kopi siap panen yang jumlahnya ribuan hektar, dihancurkan oleh petugas yang
berwenang, dengan alasan areal perkebunan kopi itu merupakan kawasan hutan
lindung.
Kalau toh demikian, mengapa kebun kopi siap panen itu harus dibabat habis,
bukankah bisa menunggu hingga akhir masa panen?
Ternyata itu semua cuma alasan saja. Karena tak berapa jauh dari kawasan itu
(yakni di Fajar Bulan, Lampung Barat) terdapat perkebunan kopi milik PT
Indolam. Perusahan milik si mbak ini selain memiliki kebun kopi juga membawahi
pabrik kopi, sehingga tempat ini selain kebun juga untuk pengolahannya
sekaligus.
Jadi, alasan sebenarnya membabat kebun kopi siap panen di Lampung Barat tadi
ternyata cuma merupakan salah satu cara meredam munculnya pesaing potensial
(rakyat setempat).
Peristiwa Banyuwangi Terulang di Pangandaran! Pangandaran, kota pariwisata dengan pantai pasir putihnya yang terkenal
indah, terletak di selatan Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat, kini
terusik. Sejak lebih dari 2 bulan terakhir ini masyarakat Pangandaran dan
sekitarnya (Padaherang, Cikembulan, Parigi, Cigugur dan Cijulang) mengalami
keresahan akibat berlangsungnya penculikan dan pembantaian terhadap da'i,
muadzin, maupun aktivis masjid lainnya secara kejam. Peristiwa ini persis
seperti yang terjadi di Banyuwangi.
Penangkapan dilandasi kecurigaan bahwa
korban adalah dukun santet. Bedanya dengan kasus Banyuwangi, para pelaku
yang jumlahnya ratusan sama sekali tidak melakukan penyamaran sehingga dapat
dengan mudah dikenali. Beberapa kejadian malah terjadi di siang bolong.
Pada malam lebaran tanggal 19 Januari 1999 seorang penduduk Desa Cikembulan,
Kecamatan Pangandaran diculik. Korban pada saat itu tengah mengumandangkan
takbir di Masjid Cikembulan, tiba-tiba beberapa orang masuk masjid dan
langsung menjerat leher korban dengan menggunakan kabel. Selanjutnya diseret
keluar masjid di mana telah menunggu puluhan orang di atas truk. Masyarakat
setempat yang shock menyaksikan kejadian tersebut tidak berani dan tidak
mampu bereaksi, hanya bisa menyaksikan korban disiksa di atas truk yang
sedang berjalan meninggalkan halaman masjid tersebut. Korban kemudian dibawa
ke Jembatan Ciwayang yang berlokasi di Kecamatan Cigugur, kurang lebih 15 km
dari tempat kejadian. Di atas jembatan tersebut korban dieksekusi dan
kemudian dilempar ke sungai.
Kurang lebih dua minggu yang lalu, pada jam 11 siang terjadi arak-arakan
tiga truk terbuka berisikan lebih dari seratus orang yang bergerak dari arah
Kecamatan Pangandaran ke Jembatan Ciwayang. Sepanjang perjalanan orang-orang
di atas truk tersebut berteriak-teriak mengajak warga masyarakat untuk ikut
menyaksikan "penyembelihan hewan kurban". Menurut keterangan masyarakat yang
mengikuti truk tersebut, sesampainya di Jembatan Ciwayang mereka melihat
seorang laki-laki disiksa berat, giginya dicabuti dengan menggunakan tang,
alat vitalnya dipotong, setelah itu dengan menggunakan batang pohon kelapa
yang digotong beramai-ramai kepala korban ditumbuk hingga tewas. Mayat korban
kemudian dibuang ke sungai di bawah jembatan tersebut (Sungai Ciwayang).
Kejadian ini disaksikan oleh masyarakat setempat maupun masyarakat yang
mengikuti arak-arakan tadi.
Beberapa kejadian serupa terus terjadi, sehingga sampai saat ini
(11-04-1999) di Pantai Batu Karas dan Cukang Taneuh (Grand Canyon-nya
Pangandaran), kedua tempat tersebut merupakan pantai tempat sungai Ciwayang
bermuara, masyarakat setempat telah menemukan sekurang-kurangnya 25 mayat
dalam keadaan tidak lengkap dan sukar dikenali lagi.
Kejadian terakhir dari rentetan peristiwa ini terjadi pada Jumat malam,
tanggal 09 April 1999. Malam itu sekitar jam 23.30 terjadi lagi penculikan
terhadap suami-istri penduduk Kampung Purwasari (Cijoho), Desa Parigi,
Kecamatan Parigi. Korban yang diculik bersama istrinya tersebut adalah
seorang muadzin di Masjid Kampung Purwasari. Kedua korban dieksekusi, dan
mayat mereka kembali dibuang ke Sungai Ciwayang. Pada peristiwa ini
masyarakat setempat sempat mendengar obrolan para pelaku yang jumlahnya
ratusan tersebut merencanakan melakukan kembali penculikan dan pembantaian
serupa malam Sabtu mendatang (16-04-1999) terhadap dua orang aktivis Masjid di
Kampung Astamaya, Desa Karang Jaladri, Kecamatan Parigi yang terletak
sekitar 1 km dari lokasi kejadian.
Pada malam tanggal 09 tersebut secara simultan dua orang warga Kampung
Buniayu, dan satu orang warga Kampung Bojong Salawe juga diculik, dibunuh
dan mayatnya dijatuhkan di Jembatan Ciwayang sebagaimana semua korban
terdahulu. Kedua kampung tersebut berada dalam wilayah Desa Karang Jaladri,
Kecamatan Parigi. Sehingga total pada malam tersebut lima warga Kecamatan
Parigi dibantai.
Akibat rangkaian kejadian tersebut di atas, masyarakat setempat pada saat
ini berada dalam suasana ketakutan dan ketidak-mengertian tentang apa
sebenarnya yang tengah terjadi. Lebih-lebih para aktivis masjid yang
berisiko lebih tinggi, mereka pada saat ini sebagian telah mengungsi ke
sanak keluarganya di kota. Keheranan masyarakat setempat semakin bertambah
karena peristiwa ini sama sekali tidak menjadi perhatian pers. Pers lebih
banyak meliput kejadian di Kosovo, sementara holocaust yang terjadi di depan
mata, menimpa saudara-saudara kita sendiri, dengan tingkat kedzaliman yang
sukar dibayangkan sama sekali tidak mendapat perhatian